Lihat ke Halaman Asli

Rofatul Atfah

Guru Tidak Tetap

Melompat Jauh, Keluar dari "Zona Nyaman" Sebagai Guru Honorer

Diperbarui: 30 Juni 2019   11:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Sebenarnya aku sudah lama ingin mengubah nasib daripada sekedar sebagai guru honorer. Tidak baik terlalu berlama-lama berada di "Zona Nyaman" sebagai guru honorer di sekolah negeri. Sebuah "Zona Nyaman" dengan kerelaan mengabdi bertahun-tahun berjibaku sebagai tenaga honorer demi hanya untuk mendapat sebuah mukjizat sewaktu-waktu bisa diangkat menjadi PNS. 

Dan aku harus berusaha melompat jauh, keluar dari zona nyaman itu, dengan kembali kepada mimpi besarku bisa kuliah pascasarjana. Sebuah pertanyaan, perlukah tenaga honorer kuliah hingga pascasarjana, tidak perlu aku bahas tuntas disini. Semata bagiku tidak ada lagi yang melebihi nilai sebuah ilmu dari kuliah pascasarjana meskipun itu tidak berbentuk sertifikasi. Karena sertifikasi hanyalah sebuah prosedural, sementara ilmu mengangkat seseorang beberapa derajat.   

Untuk itu sudah sejak lama aku ingin kuliah S2 dan kalau perlu sampai S3 ke luar negeri ! Ketika aku masih kuliah tingkat sarjana dulu aku selalu berburu informasi tentang beasiswa kuliah pascasarjana ke berbagai kedutaan luar negeri yang ada di Jakarta. Namun karena terbentur keterbatasan peluang dan juga mendahulukan berumah tangga daripada ambisi pribadi, maka kuliah ke luar negeri hanya tinggal sebatas angan. Namun itu tidak berapa lama. Bagai gejolak magma yang senantiasa menggelegak hendak memuntahkan energi yang terpendam, keinginan kuliah pascasarjanapun diam-diam menyeruak keluar.

Awalnya setelah kedua putraku besar, terpikirlah kembali untuk melihat peluang kuliah ke luar negeri. Ketika membaca ada iklan kesempatan meraih beasiswa dari USAIDdi akhir 2013 keinginanku untuk meraih impian kembali berkobar. Masalahnya ada ketentuan dimana aku harus mendapat izin atasan. Yang akhirnya membuatku terbentur tembok besar birokrasi. Jika hanya persoalan TOEFL ataupun IELTS, mungkin masih bisa aku kejar, akan tetapi segala macam izin atasan hingga ke beberapa tingkat diatas membuat aku harus menutup kembali harapan.

Namun mimpi untuk keluar dari “zona nyaman” sebagai guru honorer masih tetap berkobar. Kesempatan kedua kali ini datang dimana aku mencoba memberanikan diri mendaftar program pascasarjana tingkat magister di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Terus terang aku nekat mendaftar, karena sebenarnya biaya untuk kuliah masih nol ! Inipun terbentang jarak Bekasi (tempatku mengajar) dan Bandung. Perlu banyak biaya untuk ongkos perjalanan pulang-pergi, makan, beli buku, dan sebagainya. Sementara akupun masih harus menutupi kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Belum lagi masih banyak urusan keuangan sisa masa lalu yang masih perlu dituntaskan agar tidak menjadi beban.

Oleh karena itu pertama membaca peluang daftar S2 di UPI sebenarnya aku masih ragu. Apakah mungkin bisa ? Jika hanya untuk ikut tes seleksi, insya Allah bisa. Tokh aku meraih nilai tinggi saat uji kompetensi guru beberapa waktu yang lalu. Aku juga lulus tes agen asuransi. Keduanya aku lalui dengan persiapan yang seadanya. Sementara untuk soal bahasa Inggris, aku malah mengajar bahasa Inggris meski ijazahku jurusan PMP-KN (istilah dulu untuk jurusan PKN). Jadi aku cukup percaya diri buat ikut tes seleksi, minimal aku bisa lulus meski mungkin nilai pas-pasan (karena keterbatasan waktu untuk belajar tentunya).

Hanya saja.........jika diterima tetapi tidak ada biaya untuk kuliah bagaimana ? Untuk biaya pendaftaran saja ada beberapa perhitungan yang meleset. Aku tadinya berharap mendapat uang tambahan dari honor mengajar Pendalaman Materi kelas 9, mengawas try out dan ujian sekolah smp, yang kesemuanya aku rencanakan untuk membayar biaya pendaftaran sebesar Rp 750.000,-. Tetapi ternyata tidak. Aku baru bisa melakukan pembayaran pendaftaran di bank BNI cabang UPI Bandung tanggal 3 Mei 2016 (dan tanggal penutupan adalah 9 Mei). Padahal sebelumnya aku sudah terlanjur melakukan pendaftaran online dan mendapatkan nomor bayar pendaftaran di bank BNI sejak minggu kedua Maret. Perlu waktu lama untuk mengumpulkan uang buat pendaftaran. Tetapi aku bersyukur, aku sudah berhasil melewati satu langkah penting di awal mimpiku. Alhamdulillah.

Tetapi masalah belum selesai. Aku semula menganggap segala prosedur pendaftaran online mudah dan sederhana. Apalagi aku sudah terbiasa sejak lama melakukan komunikasi melalui sistem daring. Sayangnya lagi-lagi perkiraanku meleset. Penyebabnya bukan karena prosedur pendaftaran di UPI sulit dan ribet, akan tetapi karena aku baru menyadari bahwa pengisian data belum selesai.  Meski aku sudah melakukan pengisian biodata sementara di UPI tanggal 3 Mei lalu, ternyata masih banyak data yang belum aku isi dan perlu diedit ulang. 

Tambahan lagi aku belum mengambil legalisir fotocopi ijazah + transkip akademik di UNJ. Mungkin ada sekitar 3 mingguan tidak aku ambil. Malangnya aku baru menyadari bahwa tanggal tes seleksi sudah di depan mata. Tertera jadwal tes seleksi tanggal 18 dan 19 Mei. Sementara hari itu sudah menginjak 15 Mei ! Aku nyaris panik.  Maka dihari selasa 15 Mei itu pula mau tidak mau aku harus mengambil legalisir fotocopi ijazah dan transkip akademik di UNJ.  Untunglah anakku yang pertama sudah punya SIM dan ada di rumah (karena sudah selesai UN SMA). Akupun dibonceng sepeda motor oleh anakku, menempuh perjalanan ke rawamangun dengan menembus guyuran hujan lebat di sepanjang jalan.  

Malam harinya, aku mengecek biodata kembali. Aku masih berharap tanggal 17 bisa tetap berangkat ke Bandung untuk tes. Sayangnya pengisian biodata masih belum bisa di malam itu. Baru keesokkan malamnya tanggal 16 Mei, aku bisa menyelesaikan pendataan. Itupun setelah lewat tengah malam baru selesai. Celakanya, mungkin karena faktor U juga, akhirnya data yang sudah aku isi dan edit tetap masih ada  yang salah. Entah mengapa setelah aku print baru ketahuan tahun lahirku yang tercantum adalah lahir tahun 2016 !  Duh, padahal pagi itu juga aku harus sudah bersiap berangkat ke Bandung ! Dan aku belum belajar sama sekali !  

Akan tetapi rasanya waktu tidak sanggup lagi dikejar. Akupun pasrah. Yang sudah terjadi, sudahlah. Yang penting akhirnya aku mendapat jatah tes seleksi gelombang kedua tanggal 1 Juni mendatang. Masih ada banyak waktu untuk persiapan tes. Kembali ke masalah biaya kuliah ? Aku hanya berdoa bisa meraih peringkat terbaik dari hasil tes supaya mendapat beasiswa dari UPI. Cuma sekali lagi ini kayaknya mustahil, karena usiaku sudah 47 tahun, sudah termasuk “uzur” untuk mendapat beasiswa di Indonesia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline