Lihat ke Halaman Asli

Rofatul Atfah

Guru Tidak Tetap

Menepis Karakter Imajiner

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernah melihat adegan makan aktor Benyamin S. dalam film maupun sinetron Si Doel ? Benyamin terlihat makan dengan lahap dan enak, padahal yang dimakan hanya menu sehari-hari biasa. Bandingkan dengan adegan makan dalam sinetron ataupun film sekarang. Terlihat hambar dan cuma formalitas belaka. Beda dengan Benyamin (dan juga para aktor/aktris berkualitas yang lain) yang mampu berperan dengan berbagai karakter secara alami. Sekarang ini yang terjadi adalah adanya penyeragaman karakter. Sehingga yang terbentuk adalah karakter imajiner.

Karakter imajiner adalah karakter yang mengada-ada, berlebihan, tidak ada keunikan antara satu dengan yang lain, dan bersifat konsumtif semuanya semata-mata demi materi. Karakter ini dibangun dari berbagai media, apakah itu sinetron, film, aneka tayangan televisi, buku, bahkan gadget. Jika mau berbuat yang beda, maka bakal ditolak, tidak laku di pasaran, dan jelas bisa rugi besar.

Dampaknya, industri kreatif menjadi sesuatu yang mahal, terutama bila ingin membuat sesuatu yang bersifat idelisme. Dunia wira usaha tidak akan menjadi pilihan menarik, orang akan menjadi aman dengan menjadi birokrat, pegawai, ataupun buruh untuk sekedar mendapatkan penghasilan tetap perbulannya. Dunia politik pun akan senantiasa dihadapkan pada dua kutub yang berlawanan, pemerintah dan oposisi. Masalahnya, seringkali bila sudah mengambil sikap sebagai oposisi, maka segala sesuatu seakan menjadi dibolehkan semata untuk menunjukkan oposan kepada pemerintah.

Bagi kalangan pendidikan pun bisa jadi kekerasan (tawuran, bullying, mos/ospek) dinobatkan sebagai sesuatu yang sudah dari "sononya", sulit diberantas. Karakter imajiner memang hanya membentuk dua wajah yang sama, satu baik dan satu buruk. Keduanya dipersepsikan harus saling berlawanan, sebab bila bersifat abu-abu, dianggap "banci". Lebih parah lagi, beberapa ahli dakwah turut mengabadikan dengan dakwah model haram vs halal, bid'ah vs sunnah, surga vs neraka, Islam vs kafir, dan sebagainya. Bukankah Rasulullah sendiri adalah seorang yang memiliki karakter yang jelas, seorang humanis, cerdas dan penuh wibawa ?

Karakter imajiner harus ditepis, diganti dengan mendidik (bukan sekedar pendidikan) karakter dengan guru-guru yang berkarakter pula. Agar nanti menghasilkan anak murid yang bila sudah besar menjadi artis, pejabat, pengarang buku, ulama, pegawai, buruh, dan seterusnya, mampu menjadi orang yang berkarakter positif. Memberikan pencerahan untuk bangsanya dan memberikan perubahan yang membawa kebaikan.

Dengan demikian, menyambut era Indonesia emas tahun 2025, kita sudah mempersiapkan era tersebut dengan menghasilkan orang-orang bangsa Indonesia yang berkualitas. Yaitu orang-orang dengan karakter kuat, tangguh, mandiri, menghargai perbedaan, mampu bekerja sama dalam tim, dan bertanggungjawab. Bukan dengan orang-orang yang berkarakter terlihat seperti malaikat namun sebenarnya adalah penjahat. Ataupun gagah perkasa tapi kerja asal-asalan, dan jangan sampai seperti bekerja sama tapi kalau ada kesalahan masing-masing lepas tanggungjawab.

Pada akhirnya mendidik karakter yang positif memang memerlukan proses, meski begitu hasilnya akan berdampak panjang dan luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline