“Oh, ternyata kalian cucunya pak Tua. Sebentar lagi kalian dapat menemani Saleh di hutan sini,”
“Jadi, bapak yang menculik bujang Saleh ?!” tanya Ryan.
“Aku hanya mengamankan Saleh, sebenarnya kalau aku mau, aku dapat membunuhnya sebagai hukuman karena telah berani ke tempat ini. Dan kalian juga akan mendapat hukuman yang sama, kalau saja……..,”
“Kalau saja apa, pak ?” tanya Kiki polos.
“Kalau saja pak Tua bisa memberikan tebusan 1 milyar ! Maka kalian termasuk Saleh, aku bebaskan,”
“Berarti bapak penjahat !” seru Ale dengan berani.
Orang itu hanya tertawa, suaranya begitu keras. “Rohim ! Kesini !” panggil orang itu kemudian kepada Rohim. Mendengar nama Rohim disebut, anak-anak terkejut. Ternyata Rohim pengkhianat ! Berarti benar, mobil Rohim dipakai untuk membawa bujang Saleh !
Namun, seketika Rohim dibawa ke depan mereka, ternyata Rohim dibawa oleh seseorang dalam keadaan terikat tangannya dan mulutnya ditutup dengan lakban hitam. Anak-anak terkejut mengetahui keadaan Rohim, dan lebih terkejut lagi melihat wajah Rohim penuh dengan lebam. Begitu pula di seluruh tubuhnya.
“Kamu lihat anak-anak ini kan ? Kamu tahu siapa mereka, kan ? Sekarang, kalau mau bebas, aku perintahkan kamu datang menemui si tua itu untuk minta tebusan. Tidak banyak, hanya 1 milyar !” kata orang itu dengan suara keras kepada Rohim. Rohim terdiam menundukkan kepalanya.
“Kamu dengar kan, Rohim ?! Sekarang buka lakban dan talinya ! Cepat !” kata orang itu kepada temannya yang membawa Rohim. Setelah lakbannya berhasil dilepas, Rohim langsung bersimpuh di depan anak-anak. “Maafkan abang ya, abang tidak bisa melindungi kalian,” katanya dengan tersedu-sedu.
“Diam ! Orang tak berguna !” hardik orang itu lagi.
“Pak Jene, aku ingatkan, Tuhan mengetahui semua perbuatanmu,” Rohim mencoba bicara dengan suara gemetar. Orang yang disebut pak Jene itu tertawa terbahak-bahak mendengar omongan Rohim.
“Kamu ngomong apa ? Tuhan ??? Apakah kamu menyadari siapa dirimu ? Beraninya menyebut tentang Tuhan di depanku ?! Kalau aku mau, aku dapat mengirimmu sekarang untuk menghadap Tuhan ! Dengar itu ! Kamu seorang preman kampung, masih bernyali menyuruhku ingat Tuhan ?!”
“Aku memang orang tak berguna, seperti katamu, tetapi setelah aku dibimbing pak Tua, aku mulai berubah diri, aku tidak mau ikut denganmu,” Rohim membela diri.
“Kamu memang lancang ! Mengkhianatiku dan malah menjadi suruhan si Tua itu !” pak Jene semakin jengkel.
“Pak Jene tidak punya hak untuk meminta tebusan atas anak-anak ini, juga bujang Saleh. Mereka tidak berdosa. Jika pak Jene benar-benar satria, bapak bisa menggugat pak Tua ke pengadilan, dan bukan malah bertindak sewenang-wenang,” Rohim masih terus bicara.
“Masih berani banyak bicara ! Sekarang untuk terakhir, aku beri kesempatan kamu untuk hidup, aku tunggu sampai malam ini, aku hanya tahu uang tebusan sudah bisa diserahkan. Ingat, jam duabelas malam, uang sudah aku terima !” pak Jene terlihat sangat geram. “Kalau tidak, kamu dan seluruh keluargamu akan aku habisi ! Ingat, nasib anak-anak ini serta Saleh juga tergantung usahamu !” lanjut pak Jene sambil mengancam.
Rohim tidak punya pilihan lain. Dia pun menuruti perintah pak Jene. Anak-anak melihat semua kejadian itu dengan penuh ketakutan. Nasib mereka benar-benar terancam ! Setelah Rohim pergi, mereka pun ganti dibawa pergi ke suatu tempat. Di sebuah gua yang digunakan sebagai bunker, mereka didudukkan di tanah. Disana sudah ada bujang Saleh yang terikat di sebuah kursi.
Melihat bujang Saleh masih hidup, mereka serentak bernafas lega. Tidak seperti Rohim, bujang Saleh seperti tidak diapa-apakan. Wajahnya hanya pucat pasi dan tampak masih gemetar ketakutan. Anak-anak kasihan melihatnya. Namun mereka pun tidak bisa menolong. Karena nasib mereka juga sama sekarang, sama-sama menjadi tawanan !
Sementara itu di luar, hari perlahan menjadi gelap. Sebentar lagi azan maghrib. Anak-anak belum tahu pasti apakah akan dibagikan makanan untuk buka puasa atau tidak. Untunglah, akhirnya dibagikan juga makanan untuk buka puasa. Meski cuma sekepal nasi, sepotong ikan, dan sayur yang banyak kuahnya, untuk masing-masing orangnya.
Sayangnya mereka tidak diperkenankan sholat maghrib. Kiki mulai menitikkan air mata. Dia menyesal ikut mereka masuk ke dalam hutan. Yang lain pun akhirnya merasa bersalah karena tidak memikirkan akibat dari perbuatan mereka.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang ?” tanya Ale cemas.
“Nanti, aku lagi memikirkan sesuatu,” sahut Ryan.
“Kira-kira ada berapa orang di luar sana ?” tanya Meta berusaha tenang.
“Mungkin sekitar 10 – 20 orang,” sahut Ale.
Tiba-tiba bujang Saleh memberikan isyarat. Dia memukulkan kakinya ke tanah beberapa kali. Mulanya isyarat itu tidak diperhatikan oleh mereka, baru setelah hampir tiga kali bujang Saleh memukulkan kakinya, Ryan memahami apa yang dimaksud bujang Saleh.
“Eh, perhatikan ! Bujang Saleh memang tidak bisa mendengar, tapi dia bisa mengerti apa yang kita bicarakan !” seru Ryan.
“Apa saja yang kamu ketahui, bujang Saleh ?”tanya Meta tertarik.
Bujang Saleh memukul kakinya tiga kali ke tanah. “Itu artinya banyak,” ujar Ale.
“Seperti bahasa morse saja,” Meta tersenyum kagum.
“Kamu tahu dari mana, Ale ?” tanya Kiki tidak mengerti.
“Aku sering bersama dia, aku sudah mengerti satu demi satu apa saja isyaratnya,” sahut Ale.
“Baiklah, sekarang ada berapa orang di luar sana ?” tanya Meta lagi.
Bujang Saleh memukulkan kakinya ke tanah lima kali. “Sekitar lima belas orang,” kata Ale menerjemahkan.
“Tapi dia hanya memukulkan ke tanahnya lima kali ?” bantah Kiki.
“Iya, lima kali, satu kali itu artinya lima, gak mungkin kan dia memukulkan kakinya sampai limabelas kali atau seratus kali ?” jelas Ale.
“Oke, lalu….apakah jauh tempat keluar dari sini ?” tanya Meta lagi.
Bujang Saleh memukulkan kaki kanannya tiga kali lalu kaki kirinya lima kali. “Maksudnya……ada tempat terdekat tapi jalannya curam dan berbahaya, dan ada tempat yang jauh tapi aman,” jelas Ale agak sedikit bingung.
“Nah, kamu bingung kan ?” Kiki menebak perasaan Ale. “TIdak juga,” Ale membela diri.
“Sudahlah jangan ribut, selanjutnya….apakah kita bisa selamat keluar dari sini ?” tanya Meta berharap.
Bujang Saleh mengetuk kakinya satu kali. “Mungkin tergantung nasib,” jelas Ale pasrah.
Mendengar itu yang lain menjadi lemas. Kemudian bujang Saleh memukulkan kakinya lagi ke tanah sebanyak sepuluh kali, tapi dengan ketukan berjarak dua-dua.
“Oh, aku mengerti, katanya kita harus minta bantuan temannya, jadi kita harus lari menyelamatkan diri ke arah jalan yang curam, karena disana ada temannya yang bisa menolong kita,” Ale menerangkan sambil matanya terlihat cerah.
“Kapan kita bisa keluar dari tempat ini ?” tanya Kiki perlahan.
“Sekarang juga ! Mumpung mereka sedang istirahat, dan haripun belum terlalu gelap,” jelas Meta.
“Justru kalau gelap, kita malah tidak ketahuan bukan ?” Kiki bertanya lagi.
“Ya benar, tapi kita mudah jatuh ke dalam jurang, kita kan tidak mengenal dengan baik medan hutan ini. Sekarang sedang bulan mati, di luar pasti sudah gelap sekarang. Selain itu diusahakan sebelum jam duabelas malam sudah tiba di rumah kakek. Aku yakin, kakek dan nenek sekarang sedang cemas dan bingung mengetahui nasib kita,” Meta kemudian menelan ludah.
Seketika semuanya teringat kakek dan nenek di rumah. Benar juga, di rumah kakek dan nenek duduk pasrah di kursi depan. Di depan mereka Rohim duduk bersimpuh menundukkan kepala menahan tangis. Sedangkan mak Limah sudah menangis sejak tadi.
“Sungguh tega Jene menculik orang yang tidak berdosa. Jene sangat iri padaku, sejak aku memiliki kebun sawit ini, dia berusaha ingin seperti aku dengan semua kekayaan yang dimilikinya. Cuma sayang dia malah merusak hutan, mengambil habis semua isinya tanpa sisa. Kayu, Orangutan, batubara, dan sekarang cucu-cucuku beserta keponakannya sendiri, Saleh,” kata kakek dengan penuh getar amarah.
“Pak Tua, pak Jene minta tebusan 1 milyar dan harus diserahkan malam ini sebelum jam duabelas,” ucap Rohim pilu.
“Apa masih kurang cukup dia dengan semua kekayaan yang dia punya ?! Kalau aku, hanya menjaga amanat orangtua dan adat suku, tidak akan semuanya aku miliki, bahkan juga tidak diwariskan. Ini semua aku kelola untuk kepentingan semua warga, agar mereka tidak kekurangan di atas tanahnya sendiri bumi Kalimantan yang kaya raya,” ucap kakek dengan hati pedih.
“Aku hanya menyampaikan permintaannya saja,” Rohim terdengar memelas.
“Aku tahu, nanti aku berikan tebusannya. Kamu disini saja, tidak usah ikut kesana lagi,” kakek mulai berdiri dari kursinya.
“Tapi…tapi….., nanti aku akan dibunuhnya, bahkan seluruh keluargaku,” Rohim ketakutan.
“Itu bohong ! Dia tidak akan sebodoh itu. Dia hanya mengancammu supaya kamu mau menuruti perintahnya. Aku tahu siapa dia, dia cuma tukang gertak !” kakek menahan geram.
“Baiklah pak Tua, kalau begitu, aku disini saja,” kata Rohim menyerah.
“Ya, tidak apa kamu disini, tenang saja, aku sudah menyusun rencana untuk dia, aku tidak akan membalas dendam. Aku hanya ingin memberi dia pelajaran,” kata kakek, kali ini bibirnya tersenyum.
Kakek segera menelepon seseorang. Dan ketika orang yang ditunggu datang, kakek langsung menyambut tamunya dan mengajaknya duduk di kursi. Ternyata tamu yang ditunggu adalah orang yang pernah ke rumah pagi-pagi. Orang yang memakai dasi dan membawa setumpuk dokumen.
“Aku ingin pak Dodi membantu menyelesaikan masalah ini,”
“Aku baru tahu cucu dan Saleh diculik pak Jene,”
“Entah mengapa Jene mengincar mereka,” kakek seperti mengeluh.
“Mungkin tidak disengaja, mereka jadi sasaran,”
“Pak Dodi bisa bantu aku kan, membujuk Jene supaya bisa melepaskan mereka,”
“Sulit pak Tua, karena pak Jene menguasai hutan ini,”
“Hutan itu bukan punya dia. Dia itu justru merambah dan merusak hutan,”
“Kalau pak Tua berkeras seperti itu, pak Jene tidak akan mau membebaskan cucu pak Tua dan juga Saleh,”
“Maksudnya ?”
“Pak Tua bisa pakai cara bekerja sama dengan pak Jene mengusahakan pertambangan batubara milik pak Jene supaya bisa disahkan secara hukum. Bukankah pak Tua bisa mempengaruhi para anggota DPRD dan pejabat di sini ? Itu mudah saja, bukan ?”
“Tidak, aku tidak mau. Aku lebih baik minta bantuan polisi daripada bekerjasama dengan Jene,”
“Jika begitu, terserah saja, lebih menguntungkan mana, bekerja sama atau menghubungi polisi,”
“Aku memilih akan menghubungi polisi,”
Mengetahui pilihan kakek sudah pasti, pak Dodi pun pamit. Dia tidak segera pulang ke rumah, melainkan menuju suatu tempat di hutan. Sayangnya kakek tidak melihatnya, karena kakek sudah keburu masuk rumah, memikirkan langkah selanjutnya untuk menyelamatkan cucu dan juga bujang Saleh.
………….
Sementara itu, anak-anak sudah berhasil melepaskan ikatan tali ditangan maupun kaki. Begitu juga ikatan di tangan dan kaki bujang Saleh. Meta mengintip dari balik pintu kayu penutup gua. Bujang Saleh memberi isyarat supaya mereka mengikutinya kemana pergi.
Bujang Saleh mengajak semuanya untuk menggeser sebuah batu besar di pojok gua. Batu itu berat sekali. Setelah sepuluh menit, baru dapat digeser, itupun hanya cukup untuk satu orang masuk. Bujang Saleh meminta anak-anak untuk masuk satu persatu.
“Kalau nanti di dalam ada anak sima, bagaimana ?” Kiki mulai ketatakutan ingat tentang hantu anak sima.
“Ya kalau kamu tidak mau, tunggu disini saja, sampai kami menolongmu besok,” sahut Meta ringan.
“Tidak, tidak, aku ikut,” Kiki jadi panik. Dia pun ikut mengantre masuk ke dalam lorong rahasia. Yang pertama masuk adalah Meta, kemudian beturut-turut Ryan, Ale, Kiki, terakhir bujang Saleh sendiri. Setelah itu batu digeser kembali dari dalam supaya tidak ketahuan. Rupanya tempat yang mereka masuki adalah sebuah lorong peninggalan Belanda. Lorong tempat penggalian batubara yang lama.
Lorong tersebut ditutup karena ternyata batubaranya hanya sedikit. Lebih banyak batu besar biasa daripada batubara. Ujung lorong adalah berupa belitan akar dari sebuah pohon besar. Pohon raksasa yang menyimpan rahasia lobang besar di bagian akarnya.
Sesampainya di luar, mereka takjub melihat keadaan sekeliling. Namun mereka tetap harus berhati-hati, sebab salah sedikit melangkah, sebuah jurang besar menganga. Mereka sekarang berada di salah-satu bagian dari punggung pegunungan Meratus yang membentang dari timur hingga ke selatan Kalimantan.
Satu demi satu mereka meniti akar demi akar pohon hingga sampai ke tempat yang landai. Itu masih belum cukup, masih ada rawa yang harus dilalui dengan perahu kecil untuk sampai ke perkampungan terdekat. Maka di malam yang pekat itu, mereka sama-sama berdoa agar ada orang yang bisa mengantar mereka naik perahu.
Bujang Saleh lalu bersiul. Siulannya tidak jelas. Lagi-lagi Meta merasa itu adalah bahasa sandi morse. Meta jadi perlu belajar lagi kepada bujang Saleh yang memiliki kepandaian alami. Setelah beberapa kali bujang Saleh bersiul, tampak dari kejauhan ada cahaya kecil mendekat.
Kiki mengamati cahaya itu berasal dari lampu sebuah sampan kecil. Sampan itu dikayuh perlahan mendekati mereka. Seketika sampai, satu demi satu naik ke atas sampan. Sampan itu begitu sempitnya, membuat Kiki menahan nafas penuh ketegangan. Sepanjang menyusuri rawa, Kiki berdoa terus dalam hati supaya tidak ada buaya yang muncul malam itu. Padahal tanpa setahu mereka, beberapa buaya berkeliaran di rawa.
Alhamdulillah, akhirnya mereka berhasil selamat juga ke tepi. Kedatangan mereka sudah disambut beberapa orang dari suku Dayak. Namun bujang Saleh yang paling ditunggu mereka. Dari sedikit cerita yang pernah Kiki dengar, bujang Saleh masih bersaudara dengan nenek. Dan mereka berasal dari suku Dayak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H