Lihat ke Halaman Asli

Rofatul Atfah

Guru Tidak Tetap

BERSATU DAN BERSAUDARA (Cerber Anak bag 7)

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Kenalkan, aku Piter,” sapa seorang anak kepada mereka. Mereka pun sama-sama saling mengenalkan diri. Piter adalah sepupu bujang Saleh. Usia Piter kira-kira sama seperti mereka. Piter murah senyum dan mudah bersahabat dengan siapapun yang baru dikenalnya. Piter pun mengajak mereka ke sebuah rumah panjang tidak jauh dari situ.

“Piter sepertinya anak yang cerdik,” bisik Meta kepada Kiki. Kiki pun mengangguk mengiyakan.

“Apakah kalian masih melihat beberapa satwa liar di sana tadi ?” tanya Piter setelah mereka sudah duduk di dalam rumah.

“Tidak, aku tidak melihatnya,” sahut Kiki yakin.

“Tapi, aku melihat ada beberapa satwa di dalam kerangkeng besi di salah satu sudut di sana,” tukas Ryan.

“hemmmmm, kalau gitu berarti tengah malam nanti jam 1 mereka akan berangkat,” Piter merenung.

“Kemana ? Ke Jakarta ?” tanya Kiki.

“Salah-satunya ke Jakarta, tapi itu cuma sementara. Sekedar transit untuk kemudian diselundupkan ke luar negeri,” jelas Piter.

“Ternyata mereka benar-benar serakah. Sudah batubaranya diambil, hewannya juga diselundupkan,” cetus Ale.

“TIdak hanya itu, mereka juga menebang habis pohon-pohonnya dan menyelundupkan kayu-kayunya dengan harga murah ke luar negeri. Yang menjengkelkan adalah kayu itu setelah jadi meja kursi dijual kembali ke Indonesia dengan harga tinggi,” Piter menambahkan.

“Itu namanya mengkhianati bangsa dan negara,” kata Ale lagi.

“Selain itu, dari kegiatan penambangan illegal itu merusak lingkungan. Bahkan sejak dari hulu telah tercemar oleh ulah mereka,” Piter memaparkan.

“Aku akan menuliskannya di blogku, sekarang sudah boleh kan ?” ujar Kiki.

“Boleh, boleh,” Meta tersenyum. Mendengar jawaban Meta, segera saja Kiki mengeluarkan tabletnya dan mulai menulis di blognya.

“Piter sekolah dimana ?” tanya Meta ingin tahu.

“Di kota Banjar Baru,” jawab Piter sambil tersenyum.

“Orangtuamu kerja apa ?” tanya Kiki penasaran.

“Papahku dosen, sedang ibu jadi guru,” Piter menjelaskan dengan sabar.

“Ooohhh,” Kiki mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Eh, sekarang sudah hampir jam sebelas malam. Bagaimana kabar orang-orang yang menyekap kita ya disana ? Sayangnya disini tidak ada sinyal, sulit menghubungi kakek dan nenek supaya mereka tidak cemas dan tidak usah mengeluarkan uang untuk menebus kita,” Meta tiba-tiba teringat sesuatu.

“Sekarang, kalau begitu apa rencana kita selanjutnya ?” tanya Ryan.

“Bagaimana kalau kita menggagalkan penyelundupan hewan liar itu ?” Piter memberi usul.

“Tapi pasti resikonya besar kan ?” Meta ingin memastikan.

“Tentu saja, cuma kita tidak bekerja sendiri, kita bekerja sama dengan banyak orang. Kebetulan warga adat kampung ini sudah memberikan halangan di jalan yang akan mereka lalui nanti,” Piter mulai menyusun rencana.

………..

Sementara itu di area tambang di tengah hutan, pak Dodi datang menemui pak Jene. Melihat kedatangan pak Dodi, pak Jene terlihat senang dan menyambut gembira. Mereka pun duduk di kursi tidak jauh dari gua tempat tawanan disekap.

“Ada kabar dari pak Tua ?” pak Jene membuka pembicaraan.

“Cuma ada kabar kalau dia tidak mau bekerjasama denganmu, dan lebih memilih menghubungi polisi untuk membebaskan cucu dan pembantunya itu,”

“Sungguh bodoh pak Tua, dia tidak tahu bahwa disini terdapat harta karun untuk tujuh turunan ! Hahahaha……….,”

“Mengapa pak Jene meminta tebusan ? Nanti kalau ketangkap polisi, hukumannya berat, tuduhannya penculikan,”

“Tenang saja, aku tidak bisa ditangkap. Aku kenal polisi, hakim, dan jaksa disini,”

“Tapi, komandan polisi yang sekarang orangnya beda,”

“Aku tidak perduli. Aku butuh modal untuk mengembangkan tambang ini,”

“Oh begitu,”

“Bagaimana dengan pencalonanmu sebagai calon anggota DPRD ?”

“Beres, meski perlu modal juga,”

“Itu mudah, nanti aku akan berikan, asalkan setelah kau terpilih, tambang ini harus disahkan secara hukum, bagaimana, setuju ?”

“Baiklah,”

Tidak lama pak Dodi pun pamit pulang.

……………..

Di saat yang bersamaan, jam menunjukkan sebelas malam, kakek sudah menyiapkan sebuah bungkusan dari kardus. Kakek ingin berangkat sendiri ke hutan untuk menyerahkan uang tebusan.  Tidak lupa kakek menyelipkan sesuatu di balik bajunya. Kakek sebenarnya sudah tahu tempat penambangan illegal itu.

Sehingga dalam waktu singkat, tempat yang dituju sudah di depan mata. Begitu sampai, mata kakek mencari-cari ke seluruh area tambang. Meski malam, mata kakek masih dapat melihat jelas situasi disana. Tampak beberapa orang datang menghadang kakek.

“Mana Jene ?” tanya kakek lantang.

“Aku disini,” pak Jene pun muncul menghadapi kakek.

“Aku hanya ingin cucuku selamat, Saleh selamat, dan semua orang yang tidak bersalah di sini selamat,”

“Pak Tua tidak usah berlagak suci disini, bukankah pak Tua merebut tanah adat untuk dijadikan kebun sawait ?!” tantang pak Jene.

“Aku tidak merebut tanah adat. Tanah adat tetap milik adat. Tanahku hanya di sekitar rumahku saja, dan hutan ini juga bukan milikmu, hutan ini milik negara,” balas kakek.

“Itu bukan urusanmu, aku hanya ingin uang tebusannya saja, kalau tidak cucumu dan Saleh………..” pak Jene mencoba menggertak.

“Pak…pak, tawanan kabur !” teriak seseorang memotong perkataan pak Jene.

“Apa ?!! Bagaimana bisa, apa tidak ada yang jaga ?!” pak Jene panik. “Cepat tangkap pak Tua !” pak Jene sigap menyuruh anak buahnya untuk menangkap kakek. “Tidak apa tahanan kabur, yang penting dapat yang paling berharga, hahahhaha…….,” pak Jene tertawa menutupi rasa paniknya.

Beberapa orang kemudian menangkap kakek dan mengambil kardus yang dibawa kakek. ”Aku tidak takut kepada kalian ! Sekarang buktikan siapa sebenarnya yang pemberani !” kakek balik menghardik.

“Hahahahha………….aku tidak bisa digertak begitu saja, Ambil kardus itu, aku mau lihat isinya !” perintah pak Jene kepada anak buahnya.

Seorang anak buahnya langsung menyerahkan kardus itu kepada pak Jene. Namun begitu dibuka bungkusnya, ternyata isinya hanyalah tumpukan kertas Koran. Kontan pak Jene naik pitam ! Ditendangnya kardus itu sehingga isinya berhamburan keluar.

“Kurang ajar ! Pak Tua membohongiku !” pak Jene meluapkan amarahnya. “Aku akan tembak dia !” lanjutnya lagi.

“Turunkan senjata kalian ! Tempat ini sudah dikepung polisi !”

Benar saja, segera terlihat sejumlah polisi dari balik pepohonan.

“Kurang ajar, ada polisi ! Awas, kau pak Tua ! Aku tidak semudah itu bisa ditangkap !” pak Jene lalu mengeluarkan sepucuk pistol.

Sambil berjalan mundur, pak Jene mengarahkan terus pistolnya kepada kakek. Setelah itu meluncur sebuah mobil truk berisi aneka hewan yang dilindungi mendekati pak Jene. Secepat kilat pak Jene naik di bagian depan, sambil tetap mengarahkan pistolnya ke arah kakek.

Tentu saja kakek tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dibiarkannya mobil truk itu pergi. Kakek menahan geram melihat kepergian pak Jene tanpa mendapat hasil. Setelah itu baru datang poilsi dari berbagai arah.

“Ingat, disini banyak bom, pak Tua ! Kalau kau macam-macam aku bisa tembakkan pemicunya dan semua akan meledak !” ancam pak Jene dengan suara lantang dari dalam mobil.

Mobil itu segera tancap gas hingga nyaris menabrak seorang polisi yang hendak menahannya. Melihat bosnya sudah kabur, anak buah pak Jene yang tertinggal langsung menyerahkan diri kepada polisi. Tempat itu pun digeledah ke semua sudutnya. Setelah benar-benar diketahui bahwa cucunya dan bujang Saleh tidak ada di tempat, kakek baru bisa menghela nafas lega.

Di pinggir jalan, yang berada di lereng pegunungan, mobil truk yang membawa pak Jene pergi melaju dengan kencang. Namun begitu tiba di jalan yang jelek, jalannya pun mulai tersendat-sendat. Mobil pun akhirnya terjerembab ke dalam lobang penuh lumpur. Pak Jene pun turun melihat kondisi mobilnya.

“Heran, baru tadi sore jalan ini diberi batu, sekarang kenapa jadi berlobang besar seperti ini ?” keluh pak Jene sambil menendang-nendang ban mobilnya.

Sekonyong-konyong tanpa diduga, lengannya terkena sumpit. Sambil menahan sakit, pak Jene berusaha mengeluarkan pistolnya dan kembali masuk ke dalam mobil. Namun mobil tetap tidak bisa digerakkan. Pak Jene semakin panik manakala melihat darah mengalir perlahan dari lehannya. Paniknya semakin bertambah seketika mengetahui dari berbagai penjuru warga kampung datang mengepung mereka.

“Tembak mereka !” pak Jene memerintahkan anak buahnya yang ada di atas mobil untuk menembak kerumunan warga. Tetapi belum sempat mereka menembak, satu demi satu panah dan sumpit berhamburan kea rah mereka. Dari atas bukit, bujang Saleh bersama Piter, Ryan, dan Ale dibantu beberapa pemuda sibuk melepaskan panah dan sumpit ke arah anak buah pak Jene yang ada di atas truk.

“Lepaskan hewan-hewan itu !” perintah seorang kepala adat kepada warga. Tanpa menunggu waktu lagi, mereka menaiki bagian belakang truk dan mengeluarkan berbagai hewan yang hendak diselundupkan pak Jene. Mengetahui posisinya terjepit, pak Jene mengarahkan pistolnya ke arah kepala adat.

Namun belum sempat pelatuknya ditekan, pistol itu terpental jatuh ke lumpur. Ternyata tangan pak Jene kena panah yang dilesatkan oleh bujang Saleh. Pak Jene tidak mau menyerah. Dia buru-buru kabur ke dalam hutan. Tidak berapa lama terdengar teriakan pak Jene menjerit ketakutan. Dalam kegelapan, pak Jene lari kembali ke arah jalan dengan wajah yang terlihat pucat pasi.

“Anak sima, anak sima,” teriak pak Jene berulang kali.

Orang-orang yang mendengarnya terkesiap, semuanya menjadi merinding. Apalagi Kiki, wajahnya ikut pucat pasi ! Semenit kemudian polisi datang. Ikut di belakang rombongan polisi, kakek beserta nenek dan mak Limah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline