Dia terlihat gamang, berkali-kali mengerutkan dahinya, sambil melihat kertas di tangan kanannya secara seksama. Hari itu kami baru saja pulang dari sekolah SMA negeri faforit di wilayah ku. Sebuah kecamatan yang beruntung menjadi kota kecil karena letaknya berada di antara jalur Solo-Semarang dan Solo-Surabaya. Kami baru saja pulang setelah menunggu dua jam untuk tahu bahwa aku dinyatakan diterima di sekolah tersebut.
"Assalamualikum", salamku ketika turun dari motor dibonceng Bapak. "wa'alikumsallam", gimana hasilnya?, jawab mamak harap-harap cemas. "Alhamdulillah ketrima", jawabku dengan senyum sumringah, tangannya terus mengusap-usap rambut dan wajahku. Terlihat Destie dan Pratiwi sedang asyik bermain, dua adik perempuan yang dulu waktu kecil ku protes, karena adik perempuan tidak bisa kuajak main. Walaupun pada akhirnya aku terbiasa juga, setidaknya ketika pratiwi lahir. waktu itu usiaku 10 tahun, berjarak 6 tahun dengan Destie yang lahir ketika usiaku 4 tahun.
"Ya sudah, makan sana le..!", Suruh mamak setelah puas mengusap-usap wajahku. Segera aku meninggalkan ruangan depan menuju dapur untuk makan dan melanjutkan shalat dhuhur.
Siang ini begitu panas dan terik aku keluar ke teras setelah menyelesaikan makan dan shalat dhuhur. Di ujung teras aku melihat Bapak sedang duduk terdiam. tangan kanannya memegang erat selembar kertas. Berkali-kali Ia mengerutkan dahinya sambil mnghisap rokok kreteknya yang mulai habis. Dia menolehku seakan sadar dengan kehadiranku, dengan cepat aku masuk kedalam. Di dalam aku menghampiri mamak yang sedang asyik dengan mesin jahitnya. "Bapak kenapa mak?", tanyaku lirih. "Ga apa-apa, udah kamu tenang aja gak usah mikirin", ucap mamak menenenangkan, seolah tahu apa maksud dari pertanyaanku.
Malam ini aku mengkhatamkan bacaan Al-qur'an ku yang kedelapan kalinya. Aku terbiasa membaca Al-qur'an setelah Maghrib sejak lulus Iqra' 6 di TPQ waktu kelas 4 SD dulu. Di depan TV terlihat Destie dan Pertiwi sedang asyik menonton Woody Woodpacker, acara kesukaann mereka. Aku memilih masuk ke kamar mendengar radio dan menunggu lagu-lagu 'Peterpan' diputar, merka sangat keren sekali, aku sering menyanyikan lagu mereka, dengan suara yang aku mirip-miripkan dengan Ariel, walaupun memang tidak pernah sama.
Tiba-tiba ada ketukan pintu dan suara mamak masuk ke dalam kamar, sembari duduk disebelahku yang tengah sabar menunggu lagu peterpan diputar. "Tadi ada berapa orang yang keterima?", tanya mamak. "240 orang", jawabku sambil memutar-mutar sluran radio. "Aku urutan 25" lanjutku sambil memutar dudukku ke arahnya. "Wah,,, hebat le bisa nomor 25 dari 240", jawabnya dengan bangga. "Terus temenmu kemaren lolos", tanya mamak unruk seorang teman yang baru ku kenal pada waktu pendaftaran kemarin. "Lolos", jawabku singkat. "Ya sudah cepat tidur sana", suruh mamak ambil berjalan meninggalkan kamarku.
Pagi ini cuaca dingin sekali, sampai-sampai aku menggigil terus-terusan setelah mandi. Bapak dengan membawa handuk buliknya berjalan menke belakang menuju kamar mandi. Ada yang aneh dengannya hari ini, Ia terus berjalan menunduk tanpa menyapa ataupun memanggil namaku. Tapi ya sudahlah mungkin Ia sedang lelah.
Hari ini adalah waktunya aku mendaftar ulang di SMA favorit pilihanku, aku semangat sekali tersenyum sumringah membayangkan bagaimana akau bersekolah di sekolah baruku nanti, wajar saja aku senang, ini adalah sekolah favorit di kotaku, dimana setiap anak jenius akan berkumpul disini. Dengan menggunakan seragam SMP ku yang mulai sempit dan lusuh, rasanya aku ingin cepat-cepat sekali.
Aku masih duduk di depan tv sambil menunggu bapak bersiap-siap mengantarku ke sekolah baru, terlihat dia keluar kamar masih dengan muka lesunya yang agak tidak biasa kemudian duduk disampingku. "Kamu yakin mau seklah di situ?" tanyanya dengan suaranya yang agak keras. Belum sempat aku menjawab lalu iya mulai berkata lagi, "Tapi mahal lho sekolahnya, bapak sih sanggup kalau cuma bayar daftar ulangmu itu, tapi kalau kedepannya nanti?
Tiba-tiba bapak berhenti bicara sembarimenghela nafas, "Lee... Bukan bapak mau ngehalangin kemauanmu, tapi kalau kamu tetep mau sekolah disitu, jujur aja bapak rekoso le.... . "Tapi pak", jawabku agak pelan lalu entah kenapa aku menghentikan pertanyaanku, dan sambil menghela nafas iya berkata lagi, "Ya sudah, kalau kamu memang masih mau sekolah disitu ga papa, bapak udah kasih uangnya ke mamakmu, nanti kamu berangkat aja sama mamakmu." "Ya udah bapak berangkat dulu", katanya sambil beranjak pergi.
Aku masih duduk terus saja melihat tv, sedangkan fikiranku terus saja berfikir, aku dihadapkan pada dua pilihan, harus mengikuti pilihanku atau mengerti dan menuruti apa yang bapak katakan. Dadaku rasanya sesak sekali, rasanya inngin ada yang meledak tapi tetap saja ku tahan terus. "Le... Gimana", terdengar suara sayup yang tak lain suara mamak. "Kamu mau tetep masuk SMA negeri?", lanjutnya, aku membalasnya dengan anggukan kecil penuh keraguan.