"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" telah meninggal dengan tenang Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus adalah mantan pilot yang juga oknum yang menjadi agen lapangan dalam membunuh aktivis Hak Asasi Manusia, Munir Said Thalid. Pollycarpus dikabarkan meninggal pada Sabtu kemarin, 17 Oktober 2020 sore hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta. Penyebab meninggalnya adalah sakit Covid-19 yang sudah ia derita selama 16 hari.
Kematian Pollycarpus ini dikonfirmasi oleh Badaruddin Andi Picunan, Sekretaris Jenderal Partai Berkarya. Ia mengonfirmasi bahwa Pollycarpus telah berjuang selama dua minggu lebih untuk sembuh dari virus Corona. Istri Pollycarpus, Josephina Hera, saat ditanyai wartawan melalui chat WhatsApp pada hari Sabtu menyampaikan bahwa suaminya akan disemayamkan di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur.
Sebelumnya, Pollycarpus memang diberi pembebasan bersyarat oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada akhir tahun 2014 sekitar bulang November. Sosok yang memang terbukti bersalah dalam pembunuhan munir ini telah menjalani hukuman penjara selama delapan tahun. Padahal putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis 14 tahun penjara. Sebelumnya hukuman kasasi MA menjatuhkan vonis lebih berat yaitu 20 tahun penjara.
Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir merespon kematian Pollycarpus ini sehari setelah ia meninggal yaitu pada Minggu, 18 Oktober 2020. Komite ini adalah kumpulan aktivis dan pegiat HAM yang selama ini concern dalam mengawal proses peradilan terhadap pembunuhan Munir. Sebagaimana yang dilansir detikcom, Suciwati, istri Munir, mengungkapkan belasungkawa. Namun, ia menegaskan bahwa, kematian Pollycarpus tidak berarti bahwa pengusutan kasus Munir terhenti.
Melalui KASUM, Suciwati menilai bahwa kasus Munir terhambat bukan karena ketiadaan bukti, tetapi tidak munculnya kemauan politik. Namun, lebih tepatnya bukan kemauan, tetapi keberanian. Apa bisa Jokowi, yang adalah seorang sipil, membongkar kasus pembunuhan yang didalangi oleh orang berlatar militer? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saja tidak bisa, apalagi seorang Jokowi? Tetapi tidak berarti bahwa pengungkapan dalang pembunuhan Munir ini kehilangan semangat.
Usman Hamid, mewakili Amnesty International Indonesia, mendorong agar pengusutan kasus Munir tidak berhenti. Sebab, ada banyak sekali penemuan bukti yang dihadirkan di persidangan usai ditelurusi oleh Kepolisian dan Tim Pencari Fakta. Bagi Usman kendala dalam pengusuan kasus tersebut tidak terletak pada aspek teknis pembuktian. Sama seperti Suciwati, ia menilai ini adalah persoalan kehendak politik negara dalam mengupayakan langkah hukum.
Usman mendorong agar rekomendasi pertama dari Tim Pencari Fakta mengenai pembentukan tim investigasi independen perlu dilakukan. Tugas tim investigasi, menurutnya, adalah menelusuri nama-nama lain yang terlibat dalam pembunuhan Munir. Sebab sangat tidak mungkin Pollycarpus bergerak sendiri. Pasti ada aktor intelektual di belakangnya. Belajar dari negara lain, tim ini bisa meniru investigasi penyelidikan kematian John F. Keneddy yang memunculkan Komisi Warren.
Sebagaimana yang kita ketahui, Dokumen Laporan yang disusun oleh Tim Pencari Fakta dalam mengusut pembunuhan Munir hilang. Hilangnya dokumen ini diketahui pada tahun 2016, pertengahan Februari. KontraS waktu itu mendatangi kantor Sekretariat Negara dan mendesak Negara untuk mengumumkan hasil laporan TPF. Karena dokumen itu dinyatakan hilang, KontraS kemudian melakukan gugatan terhadap Kemensetneg.
Pengadilan memenangkan gugatas KontraS atas Kemensetneg dan memerintahkan Kementerian tersebut untuk mengumumkan dokumen TPF. Namun, Kemensetneg tetap menjawab bahwa mereka tidak memiliki dokumen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya untuk menekan laju pengungkapan dalang pembunuhan Munir agar tidak sampai menyentuh nama-nama tertentu. Lalu apa motif utama pembunuhan Munir?
Ada dugaan Munir dibunuh karena ia memegang data terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam kasus Talangsari. Munir juga memegang data terkait penculikan aktivis di tahun 1998. Bahkan ia juga memegang bukti adanya kampanye hitam pada pemilihan presiden tahun 2004. Lebih sensitif lagi, Munir mengantongi data valid terkait dalang pembunuhan Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001 yang melibatkan nama Andika Perkasa (sekarang KSAD), menantu AM Hendropriyono.
Keterkaitan dengan Hendropriyono memang cukup kuat mengingat Hendro waktu itu adalah Kepala Badan Intelijen Negara. Dalam hasil temuan tim investigasi telah terjadi kontak komunikasi antara anggota BIN dan Pollycarpus. Ada bukti yang kuat bahwa Hendro berusaha kuat menghalangi Munir untuk mengungkapkan data pelanggaran HAM. Keterangan ini mengemuka dalam kesaksian Kolonel Budi Santoso, Deputi Perencanaan dan Pengendalian Operasi BIN.