[caption id="" align="alignleft" width="414" caption="subsidi premium dikurangi, artinya harganya jadi naik.."][/caption] Saya masih akan terus menunggu, kapan kiranya suatu kebijakan pemerintah bisa terpahami dan didukung penuh masyarakat luas. Didukung atau ditolak hal biasa, hanya, akan bagus jika berbagai kalangan, lapisan, yang bisa dipercaya cukup terlihat mewakili kepentingan aneh-aneh menyatakan dukungannya pada pemerintah. Alasan pemerintah kali ini menaikkan BBM karena subsidi selama ini salah sasaran. Jika memang begitu, kenapa tidak dibuat tepat saja? Klaim salah sasaran menjadikan subsidi BBM dikurangi dan dialihkan ke BLSM. Penyusunan anggaran yang seperti ini kiranya cukup rumit. Jika penikmat subsidi memang salah sasaran, kenapa tidak berfokus disitu. Praktisnya adalah buat yang seharusnya tidak menikmati jadi tidak bisa menikmati. Misalnya, semua mobil pribadi plat hitam harus menggunakan pertamax. Saya tidak tau seberapa sulit ini. Hanya saja, salah sasaran sebagaimana klaim pemerintah tidak ada yang tahu tentang yang sebenarnya. Bisa jadi masyarakat memang sudah belajar membiasakan diri memakai pertamax. Ada bagusnya, mobil pribadi mulai Avanza (maap sebut merk) hingga Ferari menggunakan pertamax. Setidaknya ada motivasi bahwa pertamax adalah BBM yang bagus untuk mesin/ 'keawetan' kendaraan. Atau tentang emisi karbon yang lebih rendah. Lebih mahal? tentu saja, tapi toh mereka semua kalangan yang mampu membeli mobil. Kalaupun kredit, mereka dari kalangan yang memiliki tingkat penghasilan per bulan yang cukup untuk menyicil mobil. Jumlahnya pasti menandakan lapisan masyrakat yang tidak kekurangan. Jika tidak mampu, kurangilah berkendara menggunakan mobil pribadi. Gaya itu mahal saudara-saudari.. Mungkin solusi tambahan untuk masalah kemacetan. Kini, pemerintah menaikkan harga BBM sembari tetap menghimbau penggunaan pertamax. Kenapa tidak alihkan ke konsumsi pertamax dan berfokus pada sejumlah subsidi BBM yang memang sudah seharusnya? Bagian mana yang keliru? Bagian naiknya BBM yang dipaketi dengan BLSM. Pemerintah mungkin lupa dengan kesenjangan yang ada. Seperti kurang membayangkan yang terjadi sebenarnya diatas data-data yang ada. Ketika 4.500 rupiah 1 liter bensin itu tidak sesederhana tarif parkir gedung perkantoran atau tips yang biasa diberikan di restoran. Maksud saya, 4.500 itu bukan uang kecil yang sebetulnya bernilai konsumsi 1 liter bensin untuk kebutuhan tertentu. Saya yakin banyak juga masyarakat dengan perputaran uang (cashflow) yang ketat, meski tidak terlalu besar, dan disitu bensin menjadi pengeluaran rutin. Saya membayangkan usaha kecil, atau juga karyawan bergaji kecil. Juga kondisi yang jauh berbeda dibanding Jakarta atau kota-koa besar, ketika di daerah 50.000 rupiah adalah sebuah angka yang terasa besar. Bayangkan ada dua orang, yang satu supir angkutan kota dan yang satu pedagang pasar. Keduanya nyaris hidup pas-pasan dengan kesempatan menabung yang tidak tentu. Siapa yang harus berkorban? Tarif angkutan tidak naik dan sang supir kekurangan. Atau sebaliknya, tarif angkutan naik dan si penumpang yang kekurangan. Saya kurang sepakat untuk pengurangan subsidi pemerintah untuk tiap liter premium. Untuk sebagian masyarakat rasanya belum saatnya. Tentunya untuk sebagian masyarakat ini menjadi pengeluaran tambahan atau pun malah mudah saja dan tidak terasa sama sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H