Lihat ke Halaman Asli

Partai dan Perubahannya

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kiranya perkembangan demokrasi Indonesia sudah cukup baik. Coba saja bandingkan kepedulian masyarakat pada jalannya pemerintahan dibanding masa lalu. Contoh lain, begitu semaraknya jalannya pilpres dengan aksi dukung-mendukung. Bahkan, mungkin, hingga sekarang. Kini juga, Politik juga telah menjadi komoditas tersendiri dalam indutri media. Secara keseluruhan, menurut saya, ini cukup baik saja.

Baiklah, saya ingin ke poin utamanya. Yaitu tentang bagian utama jalannya perpolitikan di Indonesia: partai politik. Politik sendiri sederhananya adalah alat untuk mencapai kekuasaan. Dan jalannya pemerintahan sendiri kemudian dominan ditentukan melalui pertarungan politik.

Saya ingin menyampaikan kecurigaan pribadi tentang partai: besar pengaruh tokoh-tokohnya,  misalnya saja ketua umum. Dan menjadi ketua umum sebuah partai seperti telah menjadi demikian strategis-nya saat ini. Menjadi ketua umum partai dianggap akan memberikan pengaruh yang besar kepada para anggota: baik di eksekutif maupun legislatif. Masyarakat mungkin makin peduli politk, tapi saya tidak akan buru-buru untuk segera beranggapan telah ada perubahan yang besar tentang pandangan masyarakat terhadap partai politik. Di pilpres kemarin, beberapa kalangan pendukung meminta acara kampanye tanpa menghadirkan atribut partai.

Sejauh ini, memang jelas partai adalah hal yang diperlukan dalam sistem dan kelangsungan berpolitik. Partai dibutuhkan untuk mekanisme menentukan wakil kita di lembaga permusyawarahan dan perwakilan. Kita juga membutuhkan persyaratan tertentu agar memperoleh sejumlah calon presiden untuk kemudian dapat dipilih. Sejauh ini, calon presiden indipenden tidak dipilih sebagai opsi.

Ya, saya seorang yang masih percaya, adalah hal jelas jika kita membutuhkan partai dalam jalannya perpolitikan. Sekaligus, saya juga menangkap gambaran umum: kepuasan masyarakat pada gerak dan prilaku partai politik penuh celah untuk kritik. Tentu saja itu sekedar dugaan tanpa kegiatan survei-survei/ semacamnya. Meski, mungkin sampai saat ini baru pada partai politiklah kita mengandalkan  pendidikan politik, misalnya saja melalui kaderisasi, pelatihan, penampungan aspirasi, dsb.

Kemudian, saya membayangkan, partai politik tidaklah harus partai-partai besar seperrti sekarang ini. Partai bisa tumbuh dari bawah, yang tumbuh melalui kesadaran diri tiap-tiap warga negara sebagai makhluk politik. Itu ilustrasi yang menurut saya sangat ambisius. Konsekuensi partai sebagai seuatu yang tumbuh dari kesadaran berpolitik.  Sesuatu topik yang nyaris mustahil. Pertama, karena politik tidak lagi disederhanakan menjadi sejumlah partai besar. Kompromi akan berlangsung secara ‘tidak terlalu elit’. Kemudian, jika keberadaan inisiatif berserikat dan organisasi politik sebagai partai tumbuh di banyak daerah, kerja penyelenggara pemilu (KPU) akan jauh lebih berat. Ya, saya baru saja memulai topik soal partai lokal yang susbstansinya adalah gerak politik yang tidak harus ditentukan oleh pengurus partai yang berada di pusat sana. Masalah ketiganya, tentu saja tentang mana mungkin sistem kepartaian yang seperti ini di-sah-kan oleh badan legislatif yang anggotanya berasal dari partai-partai, elit-elit, yang tentu menjaga kelangsungan dan dominasinya dalam pengaruh politik. Tapi, saya pikir ini terlalu mustahil dan seserius reformasi 98.

Sebetulnya, tidak perlu diperdebatkan bahwa tidak ada yang salah dengan keberadaan partai-partai besar. Partai besar telah tersusun sedemikian rupa dengan cukup benar. Tapi, negara seperti Indonesia segala sesuatunya mungkin butuh kelengkapan dan ‘treatment’ tambahan. Misalnya, ketika kelengkapan perangkat hukum sudah demikian lengkapnya, khusus untuk korupsi kita membutuhkan kehadiran KPK. Contoh lain, ’rakyat’ dianggap menghendaki pilpres secara langsung meski pilpres secara perwakilan adalah cara memilih yang praktis dan effisien.

Mungkin memang ada kesan bahwa partisan memiliki dedikasi kenegarawan, suatu panggilan hidup. Pertarungan politik adalah bagi mereka yang terlibat dalam dinamika partai. Lalu, kenapa sampai saat ini politisi lebih terkesan buruk dibanding negarawan? Mungkin substansi ‘prosedur keseriusan’ berpartai tidak bergantung pada besar dan kecilnya sebuah partai. Tentang perubahan berpartai ini, tak ada yang bisa menjamin apakah akan membuahkan politisi negarawan? Saya pikir, partai besar cukup menarik dimata manusia-manusia bertipe elitis. Sebuah kesibukan dalam dinamika organisasi para elit. Saya pikir, mereka akan sibuk hal lain.

Partai kecil jika dibayangkan akan punya cukup waktu untuk memiliki wawasan kalangan yang diwakili. Dan, jika dibayangkan lagi, merekakemudian berdialog, mendiskusikan permasalahan dengan sesamanya di perwakilan rakyat. Terbentukny koalisi mungkin menjadi tidak sesederhana sekarang, saya pikir topiknya akan tulus di kompromi ide platform pemerintahan.

Terkait pendidikan politik, tentu akan ada buku-buku bacaaan yang dituliskan para pakar tata negara atau pun beberapa politisi cerdas. Toko buku akan dengan senang hati menyediakan buku bacaan semacam itu. Etos berorganisi dalam berpartai perlu segera dibenahi, jauh dibanding praktek yang ada sekarang. Toh kita sendiri berharap peningkatan kualitas partisipasi politik, termasuk kualitas para politisinya.

Sekali lagi, poin utama saya bukan usangnya keberadaan partai-partai besar dan nasional. Dan lagi, tidak ada yang salah dengan manusia bertipe elitis. Elit tidak perlu berdatangan, ketika dibutuhkan masyarakat akan memanggilnya dalam kapasitas sebagai pahlawan. Saya hanya sedang merasakan keberadaan partai besar telah begitu menggoda bagi mereka yang tidak membawa kepentingan umum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline