Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Kehidupan Topeng Monyet di Tengah Kontroversi

Diperbarui: 20 Juli 2015   04:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ponorogo, 18 Juli 2015

Meski lebaran baru 2 hari pak Jem (inisial) nekat mengais rejeki bersama gerobak dan monyet kesayanngan, berangkat dari Kertosari salah satu kabupaten di Madiun, dia naik bus bumelan (bus kecil jarak dekat) dari Madiun menuju ke terminal Ponorogo, sesampai di terminal Ponorogo dia mulai berjalan. Hampir berjalan sejauh 15 km belum juga ada yang menghentikan langkahnya untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam memawangi hewan peliharaannya.

Mungkin kecapekan dia berhenti pada warung kopi yang biasa menjadi langganan saya, dan ceritapun mengalir tentang suka duka menjalani pekerjaan sebagai pawang topeng monyet.

Dia berasal dari desa Kertosari selatan kota Madiun, dia sudah hampir 40-an tahun saban hari berkeliling dengan monyetnya dari kampung ke kampung. Dulu didesanya ada hampir 15-an orang yang menekuni pekerjaan ini, namun sekarang tinggal 2 orang dan dia salah satunya. Menurutnya dulu banyak orang dari Solo dan Klaten yang datang kepadanya untuk menyekolahkan monyetnya agar bisa dimainkan sebagai topeng monyet, namun sejak 5 tahunan terakhir sudah tidak pernah lagi ada order melatih monyet, bahkan monyetnya pun tinggal 2 ekor. Dulu juga sempat jual beli monyet yang sudah siap pentas.

"Sepi mas....." katanya sambil menyeka keringatnya sehabis berjalan jauh dan terlihat memelas. Dia berharap lebaran kedua ramai, dan ramainya diikuti monyetnya ditanggap (diorder pentas), namun tebakannya meleset ramainya lebaran tidak disertai banjirnya rejekinya. Maklum selama bulan puasa dia libur mengamen (berkeliling) bersama monyetnya, jadi otomatis minim pendapatanya.

Ketika saya tanya tentang adalanya larangan pentas topeng monyet di berbagai daerah seperti Jakarta, dia menjawan Jakarta sama Jawa timur beda, kalau di Jakarta topeng monyet dilarang karena bikin macet karena tampilnya di dekat jalan raya atau lampu merah, banyaknya orang yang menonton sehingga bikin macet jalan katanya. Saya-pun hanya tersenyum jawabnya lugas, memang tahu atau tidak tahu sayapun tidak tahu.

Ketika saya beritahukan alasan di jakarta dilarang karena merupakan penyiksaan pada hewan, dia hanya bergedek.

"Pengin minterne kuwi kudu kereng mas, yen gak kereng yo gak bakalan dadi, menungso wae ngono opo maneh kewan...." jawabnya, memintarkan itu harus tegas dan kejam kalau ndak begitu tidak bakalan jadi, manusia saja harus dibegitukan apalagi hewan.

"Gek neng kene sing bakalan nglarang yo sopo mas, nglarang-nglarang opo arep nyadong uripku saben dino...." jawabnya sambil menyeruput kopi, yang dalam bahasa Indonesianya; yang akan melarang siapa lagi, kalau melarang apa mau menanggung biaya hidupnya saban hari.

Menurutnya dulu sebelum tahun 2000-an sekali ngamen bisa meraup rejeki 200-300 an ribu bersih, namun sekarang bisa mengantongi uang 50 ribu bersih sudah untung-untungan. Sekali ngamen dia mengeluarkan uang transpor bus 20 ribu pulang pergi, bahkan lebaran begini kondektor bus menaikan harga 50%, buat makan rokok minum, buat beli penthol bakso untuk makanan monyet. Sering rugi katanya, namun ini satu satunya pekerjaan yang ia bisa dan pantang buat dia mengemis.

Ketika ditanya apakah ada diantara anak-anaknya yang mewarisi bakatnya? Dia mengatakan kesemua anaknya perempuan, dan menantunyapun tidak ada yang tertarik akan hal ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline