Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Pengrajin Gerabah di Ponorogo yang Kian Terpinggirkan

Diperbarui: 19 Februari 2019   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jariyem masih menekuni gerabah meski gerabah tak lagi menjanjikan

Jariyem (64) mengumbar senyum, jemari tangannya yang berlepotan masih terampil. Kaki kirinya terus digoyang-goyang maju mundur yang berfungsi menggerakkan pedal agar tatakan lumpur biar berputar. 

Tanpa ukuran dan tanpa cetakan satu persatu kendi berhasil diselesaikan nyaris tanpa beda. Sebuah kendi hanya butuh 5-an menit. Peralatan sangat sederhana, berupa tatakan yang dikasih leker bekas, dan tautan kan tali pada kayu dan digantungkan pada tembok dapurnya yang belum sempat dilepo. Sementara tanah yang sudah jadi adonan, ditaruh disebelah kanannya agar mudah dijangkau. 

Sesekali perempuan paruh baya ini menyeka keringatnya, bukannya semakin bersih namun malah semakin kotor karena tangannya sudah berlepotan lumpur. Tak hanya kendi yang bisa dibuatnya, lemper, asbak, celengan, cangkir tanah, pot bunga, kekep, kereweng, bahkan kuali dari tanah liat.

“Pokoke bunder kulo saget ndamel, mergine alate kudu munyer.” Kata Jariyem sambil terus menyelesaikan pekerjaannya. Asalkan bentuknya bulat bisa dibikinnya karena membuatnya berputar.

Jariyem memamerkan hasl karyanya yang dibikin tak lebih 5 menit

Jariyem adalah salah satu dari 21 pengrajin gerabah yang tersisa di desa Plancungan, Slahung Ponorogo.

Semangatnya masih tinggi meski gerabah yang digelutinya sudah tak menjajikan. Sekeras apapun di bekerja uang yang dihasilkan tak lebih 30 ribu. Sehingga alasan inilah anak-anaknya tak ada yang tertarik meneruskan usahanya. 

“Mendingan kerja di Surabaya mas.” Kata anak sulungnya yang kebetulan pas pulang menjenguknya.

Harapannya masih muluk, tatkala teman-temannya sesama pengrajin sudah meninggalkan usaha gerabah. Dulu hampir saban rumah mempunyai peralatan untuk membuat gerabah. Setelah gerabah tidak menjanjikan para tetangganya lebih konsentrasi menjadi petani. 

Sebelum tahun 1990-an usaha gerabah masih menjanjikan. Dari hasil gerabah dia bisa membeli tanah dan sawah. Dari usaha gerabah dia bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi.

gerabah yan berhasil dikerjakan dan sudah siap bakar

Jariyem menceritakan membuat  gerabah sejak kelas 2 SD, dulu setiap anak perempuan diajari orangtuanya mereka juga perajin gerabah. Tiap remaja di desanya wajib belajar membuat gerabah. 

Cintanya pada gerabah tak pernah kendur, karena dari gerabah dia bisa menyambung umur meski kondisi sekarang sudah jauh berbeda. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline