Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Srimbek, Kartini Pada Masanya

Diperbarui: 23 April 2018   11:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Srimbek menari, didepan puluhan lelaki yang mabuk birahi


Alunan terompet melengking, dibarengi suara kendang rancak meski tiada gamelan penyerta lainnya. Asap wangi dupa mengepul menyatu dengan asap tembakau dari beberapa lelaki yang berkelesotan di lantai.

Puluhan lelaki yang duduk memutari perempuan yang sedang bersolek di depan cermin bulat. Para lelaki mesum yang dipenuhi birahi, terkagum pada perempuan pesolek.

Srimbek bersolek

Srimbek dan pelanggannya, Robby Setyosantiko membacakan monolognya

Petani, buruh, pejabat tergila-gila pada Srimbek

Dia ada Srimbek, perempuan pesolek yang kecantikannya bikin perempuan laun iri. Jari lentiknya lincah memupuri pipinya dengan bedak dan mengoleskan gincu warna merah menyala pada bibirnya.

Dupa yang ada di meja rias mengepulkan wangi melati, semakin membuat para lelaki didekatnya dirasuki nafsu birahinya.

Srimbek berdiri mengambil selendangnya, lalu menari di depan lelaki-lelaki yang mengitarinya. Lemah gemulai, terkadang gerakannya seronok, nakal memancing lelaki. Entah berapa lelaki yang bertekuk lutut di bawah ketiaknya saban hari. Petani, buruh, pejabat, atau bahkan agamawan naluri lelakinya sama.

Aku bekerja...

Aku bekerja...

Aku bekerja...atas nama hidup.

Tak perlu pembenar kebebasan tubuhku pemilik kehendak syahwat.

Aku melihat kebodohan abadi di nafsu lelaki.

Puncak spiritual yang direndahkan penyembahnya. Gusti Allah, aku berserah padaMU, dari pengakuanku ini adalah do'aku.

Aku mulai dengan lentik jariku memoles wajah topeng hari ini, menjebak pengagung nikmat syahwat dengan nama lelaki.

Anakku harus cukup, dan kenyang, Anaku harus sekolah. Anakku tak boieh iapar, Anakku harus pintar.

Duh... Gusti...

Keberadaanku adalah neraka, Rahmatilah aku.

Mungkin lelaki penikmatku beranggapan bahwa inilah surga yang terlaknat.

Berani melacurkan diri, harus berani membuka topeng

Srimbek adalah pejuang, yang merelakan tubuh dan kebebasannya dalam memperjuangkan hidupnya. Hidup terus berjalan, tak peduli caci maki benci, ataupun puji. Srimbek adalah Kartini, Kartini yang penuh caci maki dieranya.

Srimbek adalah pelacur, pelacur yang merelakan harga diri demi niat suci anak-anaknya.

Srimbek bisu dan tuli, Srimbek melayani dengan hati bukan dengan kata-kata.

Kedai kopi linkcoffe disulap menjadi panggung dadakan

Cerita di atas  adalah monolog yang dibawakan Robby Setyosantiko dalam mengapresiasi kelahiran Kartini. Kegiatan dadakan yang disebut "acara paling bidhah" tersebut diadakan di kedai kopinya. Puluhan pengunjung terkesima, suasana yang tadinya riuh berubah jadi diam bingung mau berkata apa.

Kedai linkcoffe miliknya disulap menjadi arena, kursi dan meja didorong menepi. Srimbek dibawakan seorang perempuan muda berambut panjang, ada lelaki langganan Srimbek yang berdandan petani, penari topeng yang menceritakan pada saat akhir Srimbek melepaskan topengnya. Dia tidak malau mengakui sebagai pelacur, tidak malau melacurkan diri. Serta Robby sendiri membacakan monolognya seperti "puisi" diatas.

Begitu selesai pengunjung duduk memutar, dilanjutkan diskusi. Setiap pengunjung diberi kebebasan mengemukakan pendapat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline