Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Makam Tumenggung Jayengrono di Pulung Merdiko dan Mitosnya

Diperbarui: 22 Januari 2018   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Makam Tumenggung Jayengrono di desa Pulung Merdiko, Pulung Ponorogo

Tempat mana yang paling banyak didatangi menjelang pilkada? Makam atau kuburan jawabnya. Entah apa tujuan mereka namun itu kenyataanya. Apapun tujuan mereka adalah hak masing-masing, itu adalah rahasia masing-masing yang punya hajat dengan Tuhannya. Begitu pula makam Raden Tumenggung Jayengrono di desa Pulung Merdiko, Pulung di kabupaten Ponorogo ini ramai di saat  begini.

Bagi orang Jawa ijin atau pamitan adalah hal yang wajib, ini merupakan unggah-ungguh, adab kesopanan, terutama kepada orang yang dihormati atau diteladani. Masih hidup ataupun sudah meninggal bagi mereka sama, orang tua, guru, atau panutan akan selalu terpatri dalam hati. Itu penjelasan pak Waji peziarah dari Madiun yang kebetulan bertemu di masjid Jayengrono minggu kemarin. Menurutnya menghormati beliau tiada batas, ikatan batin sangatlah kuat, doa yang dipanjatkan dalam ziarah adalah cara mereka untuk saling mengasihi, menyayangi, menghormati.

Hanya keluarga dan keturunan Tumenggung Jayengrono yang di makamkan di komplek yang berpagar

Itu salah satu alasan mengapa calon pemimpin yang akan bertarung di pilkada mendatangi makam Raden Tumenggung Jayengrono. Hampir semua calon bupati di Ponorogo berziarah ke makam beliau menjelang pemilihan, bahkan calon pemimpin kabupaten di sekitarnya kata pak Rukun yang rumahnya sekitar makam.

Menurut sejarah, Raden Tumenggung Jayengrono adalah putera  Raden Mas Sasangka atau Adipati Harya Metaun adipati di Jipang (Bojonegoro). Beliau masih trah dari Sunan Pakubuwono dari garwo selir. Beliau menyamar dari kebangsawananya, bergabung menjadi rakyat biasa di desa Kranggan Sukorejo wilayah Ponorogo tepatnya pada tahun 1696. Di desa tersebut beliau membantu keamanan desa yang kala itu rawan. 

Pada saat Sunan Pakubuwono II mengungsi ke Ponorogo beliau melewati desa Kranggan, di situlah Jayengrono bertemu dengan Sunan Pakubuwono. Pembawaan Jayengrono yang halus dan berbudipekerti membuat sang sunan memintanya untuk nderekne (mengawal,ikut serta). Sang sunan yakin kalau Jayengrono keturunan bangsawan. Jayengronopun nderekne sang sunan yang bertirakat sambil dalam pelarian di daerah Pulung, Sawoo, Bayangkaki, Tegalsari, Menang, sampai kondur merebut tahtanya kembali.

Sebagai hadiah tahun 1745 Jayengrono diberi jabatan bupati dan mendapat gelar tumenggung. Bupati Ponorogo Raden Surobroto lalu mempersilahkan Tumenggung Jayengrono memilih sendiri tempat yang akan menjadi wilayahnya untuk membuka lahan. Daerah tersebut sekarang menjadi daerah Siman, Mlarak, dan Pulung. Kala itu bernama kabupaten Pedanten yang berpusat di daerah Patihan Kidul Siman.

Tumenggung Jayengrono orang yang ahli beragama, bertirakat, dan halus budi pekertinya, baik turut katanya, menggurangi dahar dan sare (makan dan tidur), selalu bekerja siang malam. Orang jawa menyebutnya apambeg pandita halus selayaknya pendeta. Beliau juga dikenal sebagai Kyai Sambang Dalan, karena setiap malam suka berpatroli seorang diri meneglilingi wilayahnya.

anak tangga menuju makam beliau, sekelilingnya makam umum

pintu gerbang makam

kotak amal dari besi yang seperti peti, beberapa kali dicuri namun kembali

Menjelang masa tuanya beliau memilih menghabiskan masa tuanya di daerah Pulung sambil mengajarkan agama Islam di derah ini sampai meninggal tahun 1780. Daerah Pulung tempat beliau dimakamkan ini oleh sunan Pakubuwono ke III diberikan kebebasan pajak menjadi desa perdikan. Hal inilah awal nama desa Pulung Merdiko. Anak keturunanya menjadi bupati Ponorogo dan Caruban turun temurun, mungkin hal ini yang membuat alasan para peziarah menjelang pilkada.

Banyak mitos yang berkembang di makam beliau, siapa saja yang yang dimakamkan di komplek makan ini kalau bukan keturunan Tumenggung Jayengrono malam harinya akan muncul macan yang akan menggali dan mengeluarkan jasad orang yang baru dikubur tersebut.

Peziarah harus berjalan dodok, memakai lutut menapaki tangga-tangga makam sampai area pusara. Namun sekarang sudah jarang dilakukan dari bawah, hanya di daerah dalam pagar. Menurut pak Rukun ii bentuk penghormatan pada beliau, namun sekarang juga jarang dilakukan.

Pencuri yang mencuri di makam ini akan menjadi gila atau bingung, pernah dulu ada yang mencuri pohon cendana yang berada dalam komplek makam ini dengan menebangnya, si pencuri semalaman hanya berputar saya di dalam makam. Pernah juga beberapa kali kotak amal makam dicuri, namun lagi-lagi pencuri seperli orang linglung dan membawanya kembali kotak amal yang terbuat dari besi mirip peti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline