Pak Marto terus saja memukulkan palunya pada betel, suaranya berdenting dihiruk-pikuknya laju lalu lintas jalur utama Mojokerto-Surabaya. Sesekali menyeka keringatnya yang bercucuran, teriknya matahari Mojokerto serasa tak dihiraukannya. Berkali-kali disapa tak menjawab karena kalah dengan bisingnya kendaraan yang lewat dan dentingan palunya. Baru berhenti ketika saya mendekat dan berada di hadapannya.
Rasa penasaran membuat saya menghentikan perjalanan, keheranan pada bentuk rumah unik sepajang jalan di sekitar Trowulan. Rumah-rumah bentuknya seragam dan unik mengambarkan rumah tempo dulu. Berdinding batu-bata merah yang tidak diplester. Sedangkan bagian jendela dan pintu dibuat besar dari bahan kayu.
Begitu pula bentuk pagarnya juga dengan batu bata warna merah tanpa plester dihiasi ornamen simbol-simbol kuno. Pak Marto mengatakan, bangunan rumah-rumah warga ini disponsori oleh provinsi Jawa Timur dan pemerintah kabupeten Mojokerto. Menurutnya saban rumah dibantu 50 juta untuk renovasi teras dan rumah bagian depan, sedangkan rumah bagian belakang diperbolehkan seperti keadaan semula. Biar seragam tampak depan, katanya.
Pak Darmono mengatakan jika kampungnya, desa Jati Pasar dicanangkan sebagai kampung Majapahit. Begitu juga dengan desa lainnya Bejijong, Sentonorejo, dan Kedaton. Menurutnya saban rumah dianggarkan 50 juta di awal, bahkan sampai sekarang mencapai 75-an juta.
Menurut mas Andi pegawai Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) yang sedang berjaga Gapura Wringin Lawang Mojokerto, desain rumah kuno tersebut berasal dari referensi relief candi-candi yang ada di sekitar Trowulan dan kitab Negarakertagama. Beginilah bentuk rumah Majapahit kala itu, jelasnya.
Menurutnya tujuan utama adalah menciptakan perkampungan Majapahit, sehingga menjadi daya tarik wisatawan baik manca negara atau domestik. Para wisatawan bisa singgah dan menginap. Di rumah-rumah Majapahit ini diharapkan menjadi media informasi bagi wisatawan. Di rumah-rumah ini pula diharapkan pemilik menjual pernak-pernik atau souvenir khas Majapahit. Sehingga keberadaan rumah Majapahitan ini bisa menambah pendapatan dan derajat hidup masyarakat.
Namun pak Darmono mengatakan jarang ada wisatawan yang mau menginap di rumah-rumah ini, para wisatawan hanya singgah sebentar sambil foto-foto lalu pergi. Menurutnya rumah-rumah ini kurang fasilitas, sehingga para wisatawan tidak betah. Tida ada AC, tidak ada fasilitas kamar dan MCK yang memadai. Para turis lebih memilih tidur di hotel yang keberadaannya tidak begitu jauh dari Gapura Wringin Lawang Mojokerto ini.
Rata-rata wisatawan adalah orang yang lewat, bukan wisatawan yang singgah karena jarak ke Surabaya juga tidak terlalu jauh, imbuhnya.
Mas Andi mengatakan, pemerintah memberikan kail dan umpan pada warga, untuk pengelolaan lebih lanjut dipersilakan pada masyarakat. Tak mungkin pemerintah akan melengkapi fasilitas itu semuanya. Diharapkan masyarakat tergugah dengan umpan tersebut, dan bisa memanfaatkan sebaik-baiknya. Pemerintah tidak melarang keperuntukan rumah tersebut untuk toko, warung, toko kelontong atau usaha lainnya.
Diharapkan rumah-rumah ini bisa menjadi media informasi, maupun rumah budaya ke depannya.
Sehingga pariwisata, budaya, serta usaha lain di bidang tersebut bisa semakin terdongkrak dan terpromosikan. Seperti halnya usaha yang ditekuni pak Marto sebagai pematung khas Majapahit. Semenjak rumah Majapahit-an ini disosialisasikan banyak orang yang tadinya hanya lewat akhirnya berhenti karena penasaran, terutama wisatawan. Patungnya juga banjir pesanan, patung seharga 800 ribu sampai 20 juta bukan hal mahal bagi wisatawan mancanegara. Sampai bos-nya kewalahan memenuhi pesanan karena pasokan bahan baku batu dari Pacitan tersendat.