Kain perca yang ditumpahkan dari tong sampah seperti foto di atas adalah karya Trio Widodo, perupa yang sehari-hari berprofesi sebagai guru. Tak ada yang aneh dan banyak orang menganggap hal biasa bersanding dengan karya lain yang juga dipamerkan di PCC (Ponorogo Citty Center) mall terbesar di Ponorogo tersebut.
Pada papan nama karya dan keterangan telah tersurat, tentang maju dan pesatnya industri sandang. Manusia zaman sekarang akan membelajakan uangnya untuk memenuhi nafsunya dalam kebutuhan sandang. Seberapa mahal pakaian toh akhirnya akan menjadi sampah dan limbah.
Ketika ditanya apa ada filosofi lain yang ingin dia sampaikan, dia hanya tertawa tidak menjawab. Dalam karya seni ada kebebasan, begitu juga orang yang melihat juga bebas menilai. Dan setiap penilaian tentunya berbeda pula tidak ada tolak ukur. Seni etalase kain perca ini lebih cenderung menggambarkan atau potret orang Ponorogo selama ini. Kurangnya kreatif, suka mengekor alias membebek. Satu buka laundry lainnya ramai-ramai buka usaha laundry. Satu buka barbershop sebagai satu gang ikutan. Satu buka konter handphone yang lainnya ikutan.
Mungkin kritikan yang akan disampaikan oleh Trio Widodo adalah orang Ponorogo pemalas dan tidak kreatif seperti orang-orang kota lain seperti Bandung, Jogja, Malang, Tulungagung atau lainnya.
Kalau kota lain kain perca dikumpulkan lalu ditumpahkan akan berubah menjadi keset, makjun, seni kerajinan, hiasan, sovenir namun di Ponorogo kain perca dikumpulkan tetap menjadi kain perca bahkan tak ubahnya menjadi sampah.
Ketika hal itu ditanyakan Trio Widodo hanya tertawa tidak mengiyakan juga tidak menampiknya malah semakin keras tawanya. Terkadang kritikan lewat karya seni tidak etis mas kalau terucapkan, jelasnya.
Pada pameran yang digelar dalam rangka hari jadi kabupaten Ponorogo yang 521 tersebut mengambil tema "Nafas Dalam".
Bencana bertubi-tubi datang melanda Ponorogo dalam tahun ini, dimulai bencana longsor Banaran yang banyak merenggut nyawa, longsor Dayakan yang banyak merugikan harta benda, serta kebakaran pasar Songgolangit yang menguras dagangan dan tabungan para pedagang menjadi keprihatinan yang mendalam. Seperti foto-foto penulis yang pernah penulis tayangkan di Kompasiana beberapa waktu yang lalu.
Duka mereka duka kami, duka mereka duka kita. Keprihatinan berbagai elemen di Ponorogo serasa menyesakan dada, tak urung bencana juga melanda bidang kepariwisataan dan seni budaya di Ponorogo, ini pula alasan "Nafas Dalam" dipakai sebagai tema pameran.
Sebagai bentuk refleksi, untuk lebih bisa menata diri untuk tantangan ke depan. Menghela nafas untuk perjalanan ke depan agar lebih baik.
Juga merupakan bentuk empati dari penderitaan serta duka saudara kita yang terkena bencana.