Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Sudjiwo Tedjo, Agama, Seni Budaya, Keberagaman dan Keindonesiaan

Diperbarui: 14 April 2017   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sukesi memrovokasi anaknya, Kumbokarno

Powered by GreatadsSukesi terus saja memrovokasi Kumbokarno. Dia terus membanding-bandingkan Kumbokarno dengan Wibisono, adiknya. Cibiran dan sangkalan dari Sukesi membuat anaknya Kumbokarno tak berkutik, dan raksasa tersebut hanya bisa geram. Perbedaan pendapat dan perbedaan memposisikan diri dalam menyikapi ulah Rahwana yang menyulik Dewi Sinta istri Prabu Rama semakin runyam dalam keluarga tersebut.

Powered by GreatadsSukesi terus menyalahkan Kumbokarno yang pekerjaannya tidur sepanjang tahun. Kalayak menganggap dia raksasa yang berhati bijaksana, namun bagi Sukesi Kumbokarno tak lebih dari pecundang yang penuh ragu tak segera bertindak untuk mengambil keputusan. Kumbokarno peragu dalam mengambil keputusan, antara berpihak pada kebenaran, persaudaraan, atau bela negara. Kumbokarno protes mengapa adiknya malah diijinkan ibunya untuk bergabung dengan musuh. Sementara dia harus berjibaku bela negara karena ulah kakaknya. Perdebatan batin berkecamuk dalam benak Kumbokarno.

Kumbokarno kelimpungan serba salah

Kumbokarno kelimpungan dan menuju ke sekitar taman sari, terkejut dia mendengar gamelan gambang merdu mengalun, dia tahu betul dari nada yang dimainkan pasti pemainnya seorang perempuan. Jiwa seni Kumbokarno terusik, karena dia petidur dan pemimpi. Dalam mimpinya dia sering memimpikan istrinya yang memainkan gambang sambil bernyanyi. Diintipnya siapa yang sedang memainkan gamelan tersebut, tebaknya tidak meleset perempuan pemainnya. Cantik rupawan, dalam angannya pasti dia yang bernama Dewi Sinta. Dewi Sinta yang membuat kakaknya buta asmara, sehingga demi wanita mau mengurbankan negara.

Kata banyak orang Dewi Sinta bersedih tapi dia masih bisa bermain gamelan dan mendendangkan lagu tak sesedih kata banyak orang, pikir Kumbokarno. Otak cerdas Kumbokarno mulai main. Wanita itu ternyata jenuh bila bersuami orang yang lugu, orang baik-baik, orang yang lurus-lurus, dan sesekali menginginkan pasangan yang aneh, urakan, berambut gondrong. Sesekali wanita mengingankan punya pasangan yang nakal. Begitupula sebaliknya lelaki ingin coba-coba mempunyai pasangan yang tidak biasa.

seni teaterikal STKIP PGRI Ponorogo

Pembawa acara

Cerita diatas adalah sekilas dari pentas tari dan teaterikal yang dibawakan mahasiswa-mahasiswi STKIP PGRI Ponorogo, yang waktu sebelumnya sudah dibrefing oleh Sudjiwo Tedjo untuk membawakan cerita. Saat mereka tampil Sudjiwo Tedjo duduk di tepi bethak(panggung kecil)melihat dengan seksama pementasan tersebut.

Pembawa acarapun unik, dia tampil bak seorang dalang wayang kulit yang membawa gunungan. Penampilanya luar biasa asyik membuat decak kagum peserta Sekolah Literasi Gratis yang diadakan oleh STKIP PGRI Ponorogo.

Baru kemudian Sudjiwo Tedjo, Ulil Maulida editor dari Penerbit Betang Pustaka, dan pembawa acaramemasuki panggung. Sekolah Literasi Gratis tersebut semakinsemarak ketika Sudjiwo Tedjo berdiri memegang mikropon. Tak seberapa lama dia bicara sudah ada peserta yanginterupsi, si peserta merasa aneh dengan cerita tari dan taearikal yang barus dipentaskan. Si peserta merasa kalau Sudjiwo Tedjo merubah cerita pakem pewayangan yang sudah tertulis pada kitab-kitab tua.

Sudjiwo Tedjo

Dialog budaya dan musikal

Sudjiwo Tedjo hanya tersenyum, lalu membuat perumpamaan Ulil Maulida. Peserta dari segala penjuru disuruh menilai apa yang terpikir pada Ulil yang sedang duduk di sampingnya.

Peserta mengatakan Ulil, cantik, mungil, imut-imut, pinter, lucu, sampai Ulil itu tak kasat mata karena yang mengatakan peserta yang berada di luar gedung.

Sudjiwo Tedjo mengatakan inilah yang dinamakan sudut pandang, semua orang boleh mengatakan apa yang bisa dipandangnya, apa yang dilihat, didengar dan kemapuan untuk menangkap tiap orang pasti akan berbeda. Dalam pewayangan juga begitu siapapun dalangnya boleh mengambil sudut pandang, tak ada istilahharam. Hanya mereka saja yang sudah terlanjur nyaman tak ingin kenyamanannya terusik. Begitu pula dalam beragama katanya.

Dalam beragama orang boleh menafsirkan. Beda budaya, beda negara, beda suku, beda bahasa tentunya akan muncul penafsiran yang berbeda pula. Namun agama dan kitab suci tetap menjadi pusat acuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline