Den-den sawah, dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan orang-orangan sawah. Sudah puluhan tahun bahkan ratusan tahun diandalkan petani untuk mengusir hama, untuk melindungi tanaman dari serbuan binatang di sawah atau ladang. Den-den sawahberasal kata bahasa Jawa wedi, weden, den-den kalau diartikan dalam bahasa Indonesia takut, penakut, menakut-nakuti.
Kearifan lokal yang murah muriah, tanpa merusak lingkungan, dan sudah teruji. Bagaimana kodisinya sekarang? Mungkin hanya akan menjadi cerita masa lalu tetang gemah ripahnya kemakmuran para petani di Indonesia.
Berangkat dari kegelisahan tersebut masyarakat Glingang Sampung mengadakan festival den-den sawah.Kesuburan sawah jauh menurun drastis setiap tahunya. Sudah hasilnya turun namun angka produksi terus meroket. Baik tenaga kerja yang sudah mulai mengandalkan mesin, pengairan yang terus mengandalkan pompa yang menyedot pemakian bbm, sampai pemakain pupuk dan pestida yang terus meningkat. Hal ini yang membuat petani semakin menjerit, khususnya masyarakat petani desa Glinggang.
Pak Suwono salah satu petani organic yang pernah saya temui mengatakan, “Kita sudah termakan doktrin, doktrin kalau tidak memakai pupuk kimia tidak bakalan panen…” gerutunya.
Dia menganggap tanah itu sifatnya seperti manusia, kepengin disayang, kepingin diperhatikan, tidak disakiti dan minta di jaga dari kerusakan. Begitu juga tanaman mempunyai ciri dan karakter, dimana kapan akan tunas, kapan akan berdaun, kapan berbunga, kapan harus berbuah dan kapan harus berakhir, manusia terlalu serakah belum waktunya tunas di paksa tunas dengan obat kimia, belum waktunya berdaun dipaksa berdaun dengan obat kimia, belum waktunya berbunga dipaksa berbunga, belum waktunya berbuah dipaksa berbuah dengan segala rekayasa, katanya. Harusnya manusia harus tahu kapan bertunas, kapan berdaun, kapan berbunga, kapan berbuah dan kapan mati, bila manusia tahu itu pasti bakalan tanah dan tanaman akan tahu diri dan harus berbudi pada manusia, jelasnya lagi.
“Kita terus mengkonsumsi obat pestisida dan obat kimia lainya dari tanaman kalau tidak segera sadar.” Katanya lagi.
Senada dengan apa yang dikemukakan pak Suwono petani organic tersebut masyarakat Glinggang yang dimotori kepala desa mengadakan festival Den-den sawahini. Dengan harapan masyarakat bisa menoleh ke ke belakang bagaimana masyarakat petani jaman dahulu gemah ripah lohjinawi meski tanpa mengandalkan pupuk pabrik dan pestisida yang konon merusak alam sekitar.
Pada festival tadi dihadirkan ratusan den-den sawahdengan berbagai bentuk, mulai bentuk tradisional dari jerami maupun berbentuk patung yang ada dijaman kekinian berupa pahlawan super versi film kartun anak-anak. Den-den sawahyang diambil dari sawah para penduduk tersebut diarak ke lapangan terbuka dan ditancapkan dilapangan berbaur dengan penduduk yang sedang menikmati festival.
Pada festival tadi juga diramaikan oleh penggiat seni lokal, teman-teman dari ISI Surakarta, bahkan ada bebarapa penggiat seni dari mancanegara. Berbaur menjadi satu di lapangan sampai susah membedakan mana orang yang benar sama orang-orangan sawah, menurut mas Wisnu salah satu panitia.
Menurut kepala desa kegiatan ini akan dijadikan agenda tahunan, sebagai hiburan masyaakatnya sekaligus mengingatkan untuk menjaga alam. Mereka yakin dengan menjaga kearifan lokal merupakan salah satu cara menyukuri nikmat Allah yang tiada bisa ternilai.
Pada pagi harisnya dilakukan prosesi ‘methik’, dalam adat Jawa kegiatan berupa selamatan yang dilakukan sebelum panen tiba. Ritual turunnya Dewi Sri (Dewi Padi) lambang kemakmuran, Dewi Sri yang tercipta atas kuasa Bathara Guru. Dan karena kecantikan Dewi Sri ini membuat Batara Guru jatuh cinta, namun Dewi Sri tidak mau. Sehingga turunlah Dewi Sri ke dunia dan menyerahkan hidupnya untuk kemakmuran umat manusia dengan menjadi padi, tutur Ki Purbo Sasongko.