Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Cumbri, Bukit Pemisah Dua Provinsi

Diperbarui: 12 Januari 2017   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di atas ketinggian bukit Cumbri serasa di tengah samodra

Jangan menyerah, itu kata-kata yang sering kali kami ucapkan untuk memotivasi orang lain untuk terus bertahan dan melanjutkan kehidupannya (am_pm). Suatu saat kata yang dilontarkan pada orang lain akan dialami sendiri. Seperti kemarin waktu menapaki jalan setapak ke puncak Cumbri. Napas ngos-ngosan, maklum ini kali pertama saya naik gunung. Jangan menyerah, kata-kata itu selalu terngiang dan saya harus bisa mencapai.

Berawal dari ajakan teman Beku, ajakan mendadak lewat telepon pukul 2 malam.

“Mas, jam 3 kita berangkat ke Cumbri, ikut Ndak?” ajak Shandy lewat telepon, padahal waktu menunjukkan pukul 2 pagi. Gila sedari sore mata saya belum terpejam sepulang dari perjalanan jauh luar kota.

“Iya, saya ikut...,” jawab saya. Tak berani tidur takut terlelap, menyiapkan baterai kamera dan tripod jaket dan motor. Segera saya menuju SPBU untuk memastikan BBM saya mencukupi. Di SPBU tersebut kami janjian ketemu. Tak lama kemudian 2 mobil mendekati saya yang sedang menunggu di pinggir jalan.

“Maaf, Mas, jadinya kita bawa mobil, motornya dititipkan saja,” kata Shandy dari dalam mobil. Tapi ndak mungkin pukul 3 pagi ada penitipan, akhirnya saya tetap mengendarai motor dan yang lainnya tetap naik mobil.

Saya mengikuti dua mobil. Saya belum tahu alamat atau jalan yang kami tuju. Jalan gelap semakin lama semakin mengecil melewati persawahan dan kampung. Jalan semakin lama semakin menanjak dan perlu ektra hati-hati untuk berkendara. Selain gelap, jalanan penuh jurang di kanan-kiri.

Sekitar sejam kemudian kami sampai di pos Pager Ukir. Kami tunaikan sholat subuh di mushola sebelah pos. Di pos tersebut pula kami menitipkan kendaraan. Ada 4 orang yang sedang tidur di pos yang mirip poskamling tersebut. Kami tidak tega membangunkannya. Setelah mengunci kendaraan, kami bergegas.

Segera kami berjalan ke arah kiri mushola karena saya sudah tidak tahu arah mata angin. 200-an meter dari pos kami sampai pada tugu setinggi ketiak, tugu batas antara kabupaten Ponorogo dengan kabupaten Wonogiri, tugu batas antara Jawa Timur dengan Jawa Tengah.

Setelah melewati tugu batas tersebut, jalan mengecil hanya bisa dilewati satu bulan orang. Menurut Shandy ini jalan para petani jambu mente lewat ke lahan perhutani yang ditanaminya. Kata Shandy pula ini satu-satunya jalan yang paling mudah dan singkat untuk sampai di puncak Cumbri. Beda dengan dua jalur lainnya yang bukan jalan para petani jambu mente. Jalan ini lebih terawat, mungkin karena saban hari sering dibuat lalu lalang petani.

Jalanan semakin gelap dan terjal. Saya bingung karena tidak sempat membawa senter buat penerangan. Hanya ponsel yang bisa saya andalkan. Seharusnya satu orang satu penerangan karena berjalan harus depan belakang, tidak bisa berjajar. Jalan mulai menanjak, beruntung jalan sudah ditata sedemikian rupa oleh orang-orang yang saban hari melewati lokasi ini. Tanaman jambu mente rimbun di sebelah kanan, sedang sebelah kiri bibir jurang, dan jauh di sana kerlap-kerlip penerangan rumah dan jalan-jalan di Kabupaten Ponorogo. Mirip bintang-bintang yang sedang main petak umpet.

Harusnya makin tinggi makin dingin, tapi tidak kali ini, keringat bercucuran dan napas semakin ngos-ngosan. Jangan menyerah, satu-satunya penyemangat sambil berhenti minum air mineral yang saya selipkan pada tas kamera. Satu-satunya air mineral yang saya bawa, sisa perjalanan sebelumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline