Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Mengenal Mbah Tekluk, Sosok Legenda Kopi dari Ponorogo

Diperbarui: 22 Juni 2016   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mbah Tekluk, sang legenda kopi

Usianya telah melewati 90 tahun namun perempuan tua ini masih aktif dan jeli memilah kopi. Kopi-kopi itu dipilah dan dipilih kualitas yang baik dengan jemarinya, baru disangrai di pawonan. Menyangrainya-pun masih tradisional, memakai tungku berbahan bakar kayu, memakai kuali tanah yang dinamai kreweng. 

Setelah selesai disangrai masih dilakukan penyortiran lagi, dipilah antara yang matang sebagian dan yang sudah matang sempurna di dalam nampan bambu yang lebih dikenal dengan nama tampah. Agar cepat dingin kopi sehabis disangrai dibentang dan diangin-anginkan pada tampah, baru di tumbuk secara tradisional memaki alu dan lumpang. 

Pengayakan adalah proses terakhir sebelum penyimpanan dalam toples yang terbuat dari kaca. Pengayakan adalah menyaring kopi dengan diayak-ayak yang bertujuan memisahkan kopi yang telah tertumbuk halus dan yang masih kasar.

Mbah Tekluk, orang lebih banyak mengenalnya daripada nama aslinya. Mulai tahun 1958 dia sudah berjualan kopi di jalan Soekarno-Hatta Ponorogo. Perempuan bernama asli Kartumi ini mulai berjualan ketika anaknya masih berjumlah 4 hingga anaknya berjumlah 9, bahkan cicitnya sudah berjumlah belasan. 

Suka dan duka telah ia laluinya. Kopi sebagai sumber hidup keluarganya, dari dulu hingga sekarang. Anak cucu, bahkan cicitnya juga berjualan kopi. Resep dan cara mengolahnya masih memakai polanya. Bahkan semua digoreng dan diolah di pawonan (dapur) yang sama dengan bergantian. Mbah Tekluk dengan telaten menungguinya. 

Masa paling sulit adalah saat-saat sekitar peristiwa tahun '65. Tak hanya sulit tapi juga mengerikan, tak tahu mana musuh dan mana teman kenangnya. Demi menghidupi keluarga ia nekat berjualan. Di dekat stasiun kereta masa itu. Masa emas dialami ketika kereta api masih beroperasi di Ponorogo. Setelah itu surut lagi dan mengalami masa puncak ketika musim lotre SDSB, undian berhadiah kala orde baru. Para pelanggannya nongkrong ngomongin nomor, mereka berkumpul sambil menunggu pengumuman nomor yang keluar, kenangnya lagi.

[caption caption="Mbah Kartumi,nama asli mbah Tekluk "]

[/caption]

Dulu orang lebih familiar dengan menyebut kopi stasiun, karena berada seberang jalan di depan stasiun. Menjelang tahun 1993 usianya semakin sepuh, ketika berjualan di malam hari sering tertidur sambil duduk, bahkan sambil menuangkan kopi matanya terpejam. Kepalanya yang teronggak-angguk atau teklak-tekluk menjadi ciri khasnya ketika melayani pembeli. Dari sinilah nama Kartumi mulai dikalahkan dengan sebutan orang-orang dengan sebutan 'Mbah Tekluk' yang artinya nenek yang mengantuk.

Sepuluhan tahun berikutnya yang jualan di warungnya diserahkan menantunya jualan setelah magrib sampai jam 3-an pagi. Sementara mbah Tekluk banyak bekerja di rumah menyiapkan kopi. 

Di tempat yang sama cucunya mbakyu Riyana juga berjualan kopi di pagi hari sampai tengah hari. Cucunya yang lain mbakyu Boinem juga berjualan kopi di barat pasar Songgolangit, begitu juga anak mbakyu Boinem (cicit mbah Tekluk). Kesemuanya berasal dari kopi yang sejenis dan disangrai ditempat yang sama secara bergantian dengan ditunggui mbah Tekluk. Memasuki usia senja Mbah Tekluk hanya bertugas mengawasi dan memberi arahan serta membantu pemilahan. 

Pelanggan kopi mbah Tekluk mulai tukang becak, orang pasar sampai para pejabat. Mereka rela mengantri dan duduk lesehan di keremangan demi mendapatkan secangkir kopi. Menjelang pilkada kopi sering gratis karena banyak politikus yang nongkrong mencari simpati di warung ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline