Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Pabrik Atsiri Tawangmangu dan Cita-cita Presiden Soekarno

Diperbarui: 1 Juni 2016   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahap renovasi bangunan, perbaikan tanpa merubah keaslihan

Ini adalah kali ke dua kunjungan saya ke pabrik  Atsiri  Tawangmangu Karangayar. Kali pertama sekitar tahun 1985-an dengan bapak saya. Kala itu menengok saudara yang rumahnya dekat pabrik. Pabrik sereh, bapak mengatakan waktu itu karena pabrik tersebut banyak mengolah sereh untuk dijadikan bahan sabun, cerita bapakku

Di desa-desa digalakkan menanam sereh, tanaman sereh tersebut ditanam di pagar-pagar atau batas lahan. Masih terngiang dalam ingatan mbah lurah Mo’in (lurah kami) mewajibkan menanam sereh di pinggir jalan, berjarak 1,5 meter. Setiap warga wajib memelihara tanaman tersebut, dan pabrih sereh akan datang membeli sereh tersebut. Hasil penjualan menjadi hak warga. Yang ditahu warga, sereh akan diolah menjadi bahan sabun kala itu. Sehingga pabrik atsiri lebih terkenal dengan sebutan pabrik sereh. Tapi bapak tidak memperbolehkan melihat terlalu dekat, sebagai PNS bapak kala itu menjelaskan pegawai negeri tidak boleh masuk pabrik. Entahlah apa maksud bapak….

Bagaimana kondisi pabrik Atsiri (sereh) sekarang??

gedung utama yang akan menjadi pusat museum

astiri akar wangi sample tahun 1991

Minyak atsiri berasal dari penyulingan bahan-bahan dari tumbuhan, berupa dedaunan, akar, biji, bunga, buah, kulit kayu, bahkan batang kayunya. Saripati tumbuhan ini berupa minyak yang mudah menguap, bahunya khas nyegrak namun baunya tak jauh dari tumbuhan asalnya. Ada yang mengistilahkan minyak atsiri dengan minyak terbang mungkin mudahnya menguap, ada pula yang menyebut minyak esensial.

Senjakala tak pandang bulu pabrik atsiri-pun terkena imbasnya. Senjakala, istilah ini kali pertama saya dengar dari Gusdur (Presiden ke-4) ketika menghadiri acara di pondok pesantren Ngruwak Nganjuk.

“Senjakala di depan mata, bagi siapa saja yang tidak kuat bertahan dengan lajunya jaman, entah, BUMN, Kementrian, perusahaan, atau pabrik-pabrik.” pidato Gusdur kala itu. Tak pelak waktu itu Kementrian Penerangan, BKKBN, beberapa BUMN, PT Pos, Telkom, Pabrik Gula, PTPN, perusahaan yang masih bekerja dengan pola lama menjadi kurban senjakala. Entahlah mengapa Gusdur sudah berpikir sejauh itu.

Begitu pula nasib pabrik atsiri yang saya kunjungi bersama teman-teman Kompasiana Yogyakarta. Sudah tidak ada aktifitas pabrik, sudah tidak ada aktifitas bongkar muat bahan yang akan disuling, dan tidak ada aktifitas penyulingan seperti tahun 1985-an. Di mana cerobong asap mengepulkan asap putih kehitaman dari mesin ketel, banyak pekerja dari luar daerah yang setiap ganti shif jaga nongkrong di warung sekitar pabrik, dan tak ada lagi truk-truk pembawa bahan yang  akan disuling keluar masuk area pabrik.

Pak Maryanto menjelaskan, aktifitas pabrik terus mengalami penurunan semenjak Citronella (badan usaha milik Negara) menjualnya ke PT Intan Purnama Jati sekitar tahun 1990. Jumlah macam yang disuling semakin terbatas begitu juga pasokan bahan baku jugat tersendat-sendat, 2 hari buka 4 hari tutup, dan terus begitu, cerita pak Maryanto yang hingga sekarang tetap bekerja di lokasi tersebut.

“Tinggal kayu putih, akar wangi, cengkeh, nilam dan sereh yang diolah menjelang tutupnya pabrik ini” jelas Maryanto yang sudah bekerja sejak tahun 1985 ini.

“Aktifitas pabrik benar-benar terhenti ketika PT Intan Purnama Jati menjualnya lagi ke pemilik sekarang….” Cerita bu Painah, istri pak Maryanto  yang dulu juga bekerja di pabrik ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline