Riuh penonton terdiam terhipnotis alunan gamelan tanpa gending. Semua terdiam, perlahan merangsek. Degung saron mendominasi seakan suara langkah lembut memasuki lorong panjang. Tapak-tapak halus nyaris tanpa hentakan namun terasa pasti. Pikiran dan angan dibuatnya melayang.
Alunan gamelannya berbeda dengan seni 'thik' pada umumnya. Halus tidak begitu menghentak, mirip gending kebo giro mengiringi prosesi mempelai naik pelaminan. Tapi bukan gending kebo giro, hanya mirip dan terasa sungguh sakral.
Nadanya halus serasa menapaki anak tangga yang agak datar dan panjang. Seakan terbawa menapaki anak-anak tangga dalam candi yang panjang. Bahkan mirip gending yang biasa digunakan dalam pisowanan dalam keraton, tapi bukan keraton Yogyakarta atau Surakarta.
Penari celengan keluar dari lorong sempit berbatas pagar di barat rumah, satu persatu penari celengan mereka menuju 'kalangan', lingkaran yang dikerumuni penonton. Polah tingkah nya seperti celeng, babi hutan pemangsa tanaman. Anyaman bambu mirip tepas (kipas) bercat hitam bergambar celeng dikempitnya. Suara klinthing (lonceng kecil) yang ditempel pada anyaman bambu tersebut bergemelinting mengikuti hentakan kaki penari. Makin lama tempo gamelan makin cepat, dan kembali memelan lagi ketika penari celengan kedua memasuki kalangan. Setelah selesai kedua penari celengan ini menepi.
Celeng, sebutan buat orang susah diatur. Mengadopsi babi hutan alias celeng, di mana segala sesuatunya seenaknya sendiri. Grusa-grusu tanpa dipikirkan lebih dulu. Asal maju tanpa perhitungan.
Celengan dalam seni thek ini adalah melambangkan keserakahan, ketamakan, dan kesewenang-wenangan. Dulu dalam satu team seni thek cuma ada satu celengan, berkostum hitam baik tata rias wajah maupun pakaian. Kini sudah berevolusi, mungkin seiring murahnya bahan sandang.
Letupan jederan (cemeti khas Ponorogo) menggelegar, seperti penggembala yang sedang menggembalakan ternaknya. Topeng besar berbentuk naga keluar dari lorong barat rumah. Mulutnya terbuka, lidahnya menjulur dan berkali-kali ditutup dengan cepat seakan menelan mangsanya yang lebih kecil.
Suara prak... prakk... sambil meloncat dan bergerak kesana-kemari mengikuti tetabuhan. Setelah itu diam lesu di pinggir, namun penarinya masih terbungkus kain penutupnya.
Penari kedua, ketiga, sampai ke delapan melakukan hal yang sama. Hanya saja tempo dari penari pertama ke penari selanjutnya semakin cepat, terutama penari ke delapan. Ada yang beda caplokan (topeng naga yang bisa membuka mulut) sepasang di antaranya berbentuk perpaduan naga dengan harimau.
Tiba-tiba langit gelap dan gerimis datang, lelaki tua segera berdiri menuju lorong tempat keluar masuk penari. Tangan kanannya diarahkannya ke atas, seperti menolak sesuatu. Sedang tangan kirinya di bawah seperti menahan sesuatu. Aneh perlahan mendung hitam yang menggelayut perlahan-lahan bergerak menuju tenggara, dan gerimis pun berhenti. Sementara itu penari yang di kalangan terus menari, tak tahu apa yang terjadi.
Keberadaan pawang (gambuh) sangat vital. Ketika banak pemain maupun penonton kesurupan pawang atau gambuh ini bertugas menyadarkannnya. Pawang atau gambuh dipilih rata-rata pemain senior, atau para sesepuh desa.