[caption caption="Kijing dan Nisan Sunan Pandaranan, Tembayat Klaten terbungkus kain mori putih"][/caption]Mungkin ini rejeki kami, juru kunci makam Sunan Pandanaran bagian dalam (cungkup makam utama) menyilakan kami untuk masuk kedalam tempat utama yang mirip centhongan (kamar). Dalam kamar yang gelap itu ada makam utama yaitu Sunan Pandanaran, kijing dan nisannya dibalut kain mori warna putih. Meski gelap warna putihnya memantulkan cahaya yang remang-remang dari celah pintu yang tak seberapa tinggi, pintu centhongan.
"Monggo mas pinarak nglebet kemawon...." kata juru kunci makam yang memakai pakaian beskap (pakaian adat Jawa). Awalnya kami bingung, karena ada puluhan peziarah lainnya yang hanya bisa berziarah dari luar centhongan yang terbuat dari papan belabak (kayu lembaran). Kami bertiga langsung masuk ke dalam dan melakukan doa dengan cari kami masing-masing.
Semakin lama peziarah semakin banyak, namun hanya di luar centhongan. Mereka mengitari centhongan tempat kami bertiga yang ada di dalam. Suara alunan tahlil dan puji-pujian sholawatan menggema dan saling bersaut-sautan. Mereka menggelar acara di sisi barat, selatan, serta timur nisan Sunan Pandanaran yang berada di centhongan. Gelombang peziarah semakin lama semakin banyak, kami bertigapun semakin leluasa di dalam karena ketika mau keluar terhalang peziarah yang berada di depan pintu centhongan. Bila kami keluar pastilah menggangu.
Setelah sekita 2 jam-an peziarah yang berada di depan pintu centhongan sudah mulai lengang, hanya tinggal 3-5 orang. Kamipun segera keluar dari centhongan dan berpamitan pada juru kunci sembari mengisi kotak amal ala kadarnya.
[caption caption="Meminta ijin Juru kunci makam Sunan Pandanaran Tembayat sebelum dan sesudah ziarah"]
[/caption]
[caption caption="pintu centhongan dari belabak di makam utama Sunan Pandanaran Tembayat"]
[/caption]
[caption caption="peziarah di depan pintu centhongan, biasanya peziarah hanya sebatas ini, namun kami diijinkan masuk di samping nisan, foto dari dalam centhongan"]
[/caption]Kami bejalan merunduk, menghormati para peziarah yang sedang khusuk berdoa. Semua pintu juga pendek, sehingga semua mau tidak mau harus merjalan merunduk, menundukan kepala. Kata juru kunci ini sebuah penghormataan kepada beliau yang dimakamkan di area sini. Selain itu katanya perlambang merendahkan diri, tidak sombong, semua sama para peziarah diangap sama meski berlatar belakang bangsawan atau pejabat.
Dua teman kami masih asyik menikmati bangunan-banguan cagar budaya yang hampir mirip Candi. Maklum saja teman saya berasal dari Bali, dan satunya lagi warga negara Korea. Kami berbeda keyakinan, saya muslim, satunya Kristen, dan yang Korea Budha. Kami sama-sama berziarah satu rombongan, namun beda cara berziarah, begitu juga beda tujuannya. Entahlah semua serba kebetulan.
Sambil menunggu 2 teman tersebut saja sholat di mushola yang berada di komplek makam atas, setelah selesai sholat 2 teman saya juga belum muncul.
"Dari mana mas?" tanya lelaki tegap yang berada disamping saya. Kami sama-sama duduk di teras masjid.
"Dari Ponorogo mas, sedang nunggu 2 teman saya entah kemana, mas dari mana?" kata saya.