[caption caption="Santri, di Pondok Modern Gontor seusai sholat Jumat"][/caption]
Puluhan ribu santri dari ratusan pondok pesantren tanggal 22 Oktober kemarin memperingati Hari Santri, ini kado istimewa dari negara buat anak bangsa. Ribuan orang lega dan sebagian orang kecewa, curiga dan tidak bisa menerima menjadi alasannya. Tentu negara telah mempertimbangkannya dengan masak-masak untung dan ruginya.
Ribuan santri gegap gempita namun saya sangat berduka di Hari Santri ini, bukan masalah tidak setuju dengan pengakuan dari pemerintah ini, dalam 3 minggu terakhir ini kami harus berpisah dengan ke 3 badal (wakil mursyid). Badal adalah orang yang dipercaya guru mursyid untuk membantu mem-baiat dalah jamaan tareqat. Lewat beliaulah kami dikenalkan dan dihantarkan pada guru mursyid. Badal bisa diartikan wakil guru atau wakil mursyid.
Dulu kata santri diartikan orang yang mendalami agama Islam; orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh (Kamus bahasa Indonesia). Sekarang makna tersebut semakin menyempit dimana santri adalah orang yang menuntut ilmu di pondok pesantren, itupun sekarang semakin menyempit dimana tumbuh pondok pesantren modern dimana ciri-ciri santri semakin menipis. Malah diantara mereka banyak juga yang terang-terangan tidak menggunakan kata santri, dan santri-pun dimaknai dengan orang nadliyin dengan pondok pesantren tradisional ataupun salafiyah. Santri juga dimaknai dengan orang yang sedang mengaji kepada guru yang memeliki pengetahuan tentang kitab suci. Adapula yang memaknai kata santri dengan orang yang berguru untuk bisa iman, islam, dan iksan. Semua ilmu tentang iman, islam dan ihsan dipelajari di pesantren agar menjadi seorang santri yang dapat beriman kepada Allah secara sungguh-sungguh, berpegang teguh kepada aturan islam. serta dapat berbuat ihsan kepada sesama.
Saya lebih menyukai santri adalah 'cantrik' yang artinya orang yang selalu mengikuti guru, perintah guru, dan menganggap guru adalah penerus dari para nabi di muka bumi. Cantrik juga diartikan orang yang setia, setia pada junjungan dan setia pada juragan, cantrik berbeda dengan abdi atau pembantu, cantrik lebih kearah pengabdian dan mengharap berkah lewat orang yang diikutinya.
Santri tidak bisa dipisahkan dari guru, para santri sering menyebutnya Kyai. Kyai berasal dari kata 'Ki' dan 'Yai', kata yang disematkan buat orang atau sesuatu yang dihormati, orang yang berpengetahuan tentang agama, budaya, dan seluk beluk hidup. Namun sekarang kata Kyai pun sudah mengalami penyempitan makna, kyai adalah guru atau pemilik pondok pesantren saja.
Ada ratusan pondok pesantren di sekitaran karisidenan Madiun dan sekitarnya termasuk Nganjuk. Ada 1-2 pesantren modern dan sisanya pondok yang berbazis tradisinal. Pondok tradisional ini terbagi pondok yang tetap mengajarkan santrinya dengan tata cara lama dan pondok yang sudah mulai beradaptasi menuju pondok yang modern.
Ratusan pondok pesantren non modern tersebut mulai mengalami penurunan yang semakin drastis. Jumlah santri mereka kian berkurang, jumlah yang bermukim juga berkurang. Sementara pondok modern semakin eksis.
Ada beberapa alasan menurut Gus Din salah satu pengasuh Pondok pesantren Manbaul Adiem di Nganjuk, pondok pesantren yang berbasis tradisional atau sering disebut salafiah tidak memberikan ijazah ketika santrinya lulus menyantri. Seringkali ada alumni santri yang telah belasan tahun nyantri dan sudah kembali ke daerah asal menanyakan soal surat kelulusan. Mereka pandai kitab dan pandai mengaji namun setelah bertahun-tahun namun tidak mempunyai ijasah. Sementara untuk bekerja atau meneruskan sekolah memerlukan ijasah formal. Ketika pengaruhnya ditempat asal sudah semakin kuat, sudah bisa bikin pondok sendiri atau mereka menjadi orang terpandang sehingga masyarakat sekitarnya mencalokannya menjadi kepala desa atau seorang wakil rakyat. Mereka kebingungan dan mereka kembali ke pondok pesantren untuk menanyakan ijazah formal. Karena pondok pesantren salafiyah tidak mengeluarkan ijazah maka si santri pulang dengan tangan hampa.
Pondok tradisional atau pesantren salafiyah tidak bisa disamakan dengan pondok pesantren modern yang ada kurikulum yang kelulusannya bisa dipersamakan dengan sekolah umum yang sederajat. Untuk hal itulah Gus Din dan pengasuh pondok pesantren lainya bekerja sama dengan Departemen Agama untuk memberikan kurikulum selain pembelajaran kitab yang kelak kelulusannya bisa disamakan dengan sekolah lain. Padi belajar sekolah umum yang sudah diitregrasi di pondok, sementara sore harinya mempelajari kitab. Departemen memfasilitasi berupa dana berupa dana BOS sampai sarana prasaran, tenaga pendidik, dan bantuan lainnya. Departemen agama menjadi pengawas dan penkordinir ratusan pondok yang memeberikan pembelajaran mata pelajaran umum. Mau tidak mau pondok tradisonal harus melakukan ini, jelas Gusdin.
Menurut Gus Din santri yang mondok-pun sudah mengalami perubahan, dulu para santri berusia remaja setingkat SMU ke atas, mereka begitu masuk pondok seakan sudah lepas dari orang tua, mereka sudah harus bisa mandiri, mencari makan dan biaya sendiri. Meski pondok pesantren salafiyah gratis namun untuk biaya hidup (makan dan kebutuhan lain) harus ditanggung sendiri. Banyak warga sekitar pondok mendapat keuntungan, para warga tersebut memperkerjakan anak pondok di waktu pagi hari, mereka mendapat upah dan makan. Para warga ini menyediakan puluhan sepeda onthel sebagai fasilitas untuk wira-wiri (kegiatan) santri. Kebanyakan mereka dipekerjakan sebagai petani, pengrajin genting, pengrajin mebel, batu bata, pabrik krupuk dan makanan. Ketika bulan Ramadhan para santri dikirim rangsum (makanan yang ditaruh di rantang susun) ketika menjelang sahur dan berbuka dari tempat ia bekerja.