Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Ritual Warga Dusun Marokan Memohon Keselamatan dan Kemakmuran

Diperbarui: 4 November 2015   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Magetan, 3 Nopember 2015

Udara panas di jalanan berliku sepanjang jalan Magetan-Ponorogo terasa membuat jenuh perjalanan. Kanan-kiri tanah mengering. Tanaman meranggas. Gunung Lawu tampak kokoh di arah barat laut pada jalan yang kami lalui, kokoh gersang tampak mencokelat tak sehijau biasanya. Panasnya udara semakin jadi tatkala waktu menunjukkan pukul satu siang, nyaris tidak ada aktivitas para petani di sekitar sawah dan ladang yang kami lalui. Kami berlima (saya, dr Praminto, Shandy, Damar Sasongko, Tonang Baskoro) yang tergabung dalam Beku.

Sesampai di daerah Lembehan Magetan, ada yeng menggelitik konsentrasi saya dalam menyetir. Tampak puluhan orang berkerumun di bawah pohon besar. Mereka duduk membuat lingkaran di bawah pohon besar tersebut. Sebagian lagi duduk-duduk di pematang sawah yang merekah pecah-pecah karena tiadanya air. Sebagian lagi berjalan berjajar menyusuri pematang sambil membawa bungkusan serta mirip tampah (nampan) yang berisi makanan di atas kepala mereka. Akhirnya kemudi saya arahkan mendekat ke kerumunan tersebut. Mereka adalah warga Dusun Marokan, Desa Pupus, Kecamatan Lembehan, Magetan.

“Nyuwun sewu wonten nopo nggir kok benter-benter ngaten sami wonten tengah sabin?” tanya saya sembari mohon maaf ada kejadian apa panas-panas begini berkumpul di tengah sawah.

“Monggo pinarak Mas, monggo nderek kenduri pindah…,” ajak salah satu dari mereka mengajak kami untuk ikut bergabung dan beristirahat dengan mereka.

“Dalem pareng motret, Pak?” tanya saya meminta ijin untuk memotret.

“Pareng monggo…. Mase saking TV pundi?” tanya orang yang tadi mempersilakan kami bergabung.

“Dalem tiyang Ponorogo, saking perjalanan saking Magetan lan mangertos kempalan niki wau lajeng dalem kepengin mangertos waonten kedadosan nopo ngaten pak…,” jawab saya memperkenalkan diri, kami dari Ponorogo sehabis dari Magetan dan penasaran dengan kegiatan mereka yang berkumpul di tengah sawah di saat terik begini.

Salah satu lelaki terus memukuli kentongan yang tergantung pada pohon besar yang dikelilingi orang-orang tersebut. Kentongan ini sebagai tanda agar para warga segera berkumpul. Kentongan di daerah ini menjadi tanda informasi atau pemberitahuan kepada warga.

“Niko mbah sambong sampun dugi…,” kata salah satu dari mereka sambil menunjuk ke pematang sawah. Sambong adalah aparat desa yang ditunjuk sebagai pengatur air irigasi.

“Monggo mbah sambong sami sampun mlempak, lan niki wonten tamu ingkang mampir,” kata mbah Loso memperkenalkan kami kepada mbah sambong.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline