Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Waroeng Tempo Doeloe, Ketika Makan Tak Sekedar Kenyang

Diperbarui: 26 September 2015   22:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila melihat poto di atas mengingatkan saya akan masa kecil, dimana makan di warung bersama bapak-ibu yang warungnya berdinding bambu atau papan-papan kayu, tempat duduknya kayu panjang atau dingklik, ataupun menden; menden adalah kursi panjang yang lebih lebar dibanding dingklik, atau cuma sekedar lesung (tempat penumbuk padi) yang telang bolong (lubang) dibalik begitu saja yang difungsikan sebagai temat duduk meski tanpa sandaran, mejapun cuma papan lebar dari kayu seadanya, dan lauk atau jajanan di taruh rodong (toples) ataupun blak (istilah jaman kecil untuk wadah krupuk seperti gambar di atas). 

Sekarangpun sebenarnya masih ada dan bisa saya jumpai, di sekitar tempat tinggal jaman kecil (rumah bapak-ibu) dipinggir hutan jati, namun menunya sangat sederhana paling-paling nasi pecel, atau puli pecel. Yang lauknya cuma tahu, tempe atau krupuk, dan hanya ikan sungai dari sungai sekitar hutan. Tapi ini jauh dan harus pergi ke daerah kediaman orang tua kami atau warung-warung di pinggiran hutan yang jauh dari tempat kami tinggali sekarang.

Minggu kemarin saya dan keluarga kaget ketika mendapati rumah makan yang mirip warung jaman saya kecil atau warung yang ada di pedesaan tempat jaman kecil saya tinggal.

Warung tersebut adalah Waroeng Tempoe Doeloe Pecel Solo yang berada di Yogyakarta, tepatnya di jalan Palagan Tentara Pelajar daerah ring road utara Yogyakarta, secara kebetulan ketika saya berkunjung ke rumah kakak ipar yang rumahnya tak jauh dari warung tersebut.

Warungnya klasik, dipenuhi ornamen serta benda-benda yang berasal dari desa, dan barang-barang tersebut sudah menjadi barang antik, seperti kelinting sapi yang di pajang berjajar di sekitar blandar (kayu penyangga atap), lesung-lesung tua yang sebagian sudah usang, lemari-lemari desa yang pendek dan tanpa kaca, boman (tirai dari kayu) yang meisahkan bagian dalam dan luar atau pembentuk ruangan terbuat dari ukiran kayu. Pintunya pun demikian berupa lembaran kayu tebal yang sudah berumur puluhan tahun tanpa di cat yang sangat mirip pintu-pintu orang desa baik bentuk dan ornamen kunci yang berupa palagan (kayu panjang sebagai ganjal bagian dalam) atau panel pemegang daun pintu.

 

Menu-nya pun bermacam-macam sayuran ala desa, ada jenis pilihan menu tinggal menunjuk saja mbak pelayan sudah melayani sesuai apa yang kita minta. Nasipun hanya di taruh pada pincuk dari daun pisang, namun meski demikian kebersihannya bisa diandalkan. Mulai olahan dari bahan nabati sampai hewani tersedia, tahu goreng, tempe goreng, tahu bacem, tempe bacem, kering, sayur lotho, sayur terong, mie ala desa, sampai iwak kali yang digoreng dan di taruh di lembarang cowek atau layah yang dialasi daun pisang. Ada juga aneka sambal, aneka kudapan, aneka nasi yang diantara nasi putih, nasi tumpeng, nasi kuning, nasi beras merah, nasi krawu, nasi rames. Jenis laukpun serasa komplit ada telur asin, tahu bacem, tempe bacem, tempe kering, srondeng, balado teri, balado terong. Disedikan juga jenis minuman hangat, panas dan dingin. Ada pula minuman temu lawak minuman khas kesukaan jaman saya kecil yang botolnya antik mirip gelek (botol kecil).

Suasanapun sepi dan damai, meski pengunjung banyak namun luasnya warung dan klasiknya warung membuat suasana nampak sepi dan damai. Rimbunya pepehonan dan kembang ditaman membuat sejuk udara meski ini berada di dekat pusatnya kota Yogyakarta.

Tentu harga yang dipatok tidak sama dengan warung desa atau jaman saya kecil, di warung ini tentu harganya berlipat sampai berlipat-lipat. Untuk makan seporsi pecel dan minuman di tempat saya cuma 5 ribuan, nasi 3 ribu, lauk tempe atau tahu 1 ribu dapat 2, dan minum 1 ribu. Dan disini uang 100 ribu terasa ciut di nyali, seperti  saya sekeluarga alami kemarin waktu ke sana.

Namun apa yang kami dapat melebihi apa yang kami bayarkan, suasana yang asri dan desa mirip suasana kecil saya, saya bisa menceritakan pada istri dan anak saya tentang masa kecil saya, tentang jenis makanan serta tradisi makan warung di desa, tentang suasana kampung saya yang sekarang sudah jauh berbeda.

Tidak perlu datang jauh-jauh ke desa, dan bila di tarik ulur yakin lebih murah makan di tempat ini bila dihitung capek dan jauhnya tranportasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline