"Cah Ayuu.... suwe ora mrene nyambangi si-Bu, piye kabare...." suara perempuan berkebaya, dari dalam ruangan dapur yang mirip pos ronda. Suaranya masih lantang dan kenes seperti 15-an tahun lalu ketika saya dan istri sering mampir ke warungnya, dia selalu menyebut para tamunya 'Cah Ayu atau Cah Bagus' dalam setiap kali menyapa, dan ini masih dia ucapkan ketika kemarin saya, anak bungsu, dan istri mampir ke warungnya. Dia menanyakan kabar kepada istri saya, entah dia hapal betulan atau hanya basa-basi namun sapaan akrab tersebut sudah terbiasa kami dengar ketika kami mampir makan di warungnya. Malah dulu istri saya pulangnya sering dikasih bungkusan di tas kresek berupa wortel atau bunga kol sehabis makan di warungnya. "Iki cah ayu di masak nek omah, ben teko omah gak usah repot blonjo...." kenangan saya akan 15-an tahun lalu.
Banyak yang berubah di warung bu Ugi, tempatnya semakin luas karena ruang tamunya dibuka penuh untuk para tamunya yang akan makan, beda dengan 15-an tahun yang lalu hanya kursi panjang 3, 1 di depan, dan 2 di samping kiri kanan, sedangkan penjual dan barang daganganya ditengah, jadi lebih leleuasa ketika berbincang dengan yang punya warung, dan kini tempat tersebut lebih tertutup, dan bila ingin menyapa bu Ugi atau yang jualan harus menengadahkan kepala untuk bisa mengintip dari lubang tempat sop dikeluarkan, mirip loket penjualan tiket. Namun begitu ingatannya masih tajam, "Piye putrine sing mbarep kae wis kuliah nek endi?" tanyannya menanyakan anak perempuan saya yang ketika kecil dulu sering saya ajak mampir ke sini.
Semua sudah berubah, hanya keramahan bu Ugi dan Sop sapinya yang masih menggoda untuk saya singgahi ketika lewat Tawang Mangu sepulang dari Jogja atau Solo.
"Piye cah ayu, sop e 3 opo 2 disik?" katanya lagi pada istri saya apakah sopnya disediakan 3 atau 2 dulu, dan istri saya meminta sop nya 2 dulu dan nasi putihnya 3, dia masih hapal tidak pernah menawarkan nasi pecel pada kami, dia masih ingat kalau di kota kami merupakan pusatnya soal kuliner pecel.
"Ibu jik apal yen cah ayu gak seneng pecelku, mergo pecel Ponorogo luwih sedep...." katanya lagi sampil tersenyum. Di tempat ini selain sop sapi pecel adalah menjadi andalan kulinernya, malah warung ini berawal jualan pecel dan di pertengahan tahun 90-an menambah menu sop sapi, awalnya hanya coba-coba namun kini menjadi menu utama.
"Oalah simbah isin yen di photo..." kata bu Ugie ketika saya jepret, beruntung saya bisa mengambil gambarnya, karena jarang sekali dia mau di potret.
"Kae Sri.... cah ayu Ponorogo ndang gek diaturi dahar, ben selak gak kademen...." katanya kepada pelayannya untuk segera mengantar sop sapi dan nasi, agar bisa untuk segera bisa menghangatkan badan di dinginya udara Tawang Mangu.
Uap dari 2 mangkok sop sapi panas yang ada dihadapan saya mengepul, baunya serasa menusuk hidung saya, tanpa berpikir panjang segera saya menusuk daging coklat kemerahan yang mengapung dalam mangkok dengan garpu, dan langsung memasukannya dalam mulut. Ternyata mulut saya tertipu oleh tangan saya yang berkerut karena dinginnya Tawang Mangu, mangkok yang saya raba dingin ternyata isinya sangat panas, sehingga mulut saya paksa buka kembali sambil menghembus-hembuskannya untuk mengeluarkan hawa panas pada daging.
Pada umumnya sop sapi adalah bagian ekor yang lebih sering disebut sop buntut atau tulang iga, namun di warung bu Ugi ini berupa potongan tulang yang masih ditempeli daging, dan daging tersebut mudah sekali terlepas ketika sendok dan garpu memisahkannya, jadi tidak perlu repot memegang tulang belulang tersebut. Tapi bagi yang suka asyik pegang-pengang tulang merupakan keasyikan tersendiri sambil menghisap sunsum-sunsum yang masih tertinggal dalam tulang.
Rasa bumbu bisa merasuk sampai di dalamnya daging, bahkan sunsum tulangpun bisa dirasuki oleh bumbu tersebut. Yang tak kalah menarik adalah sayuran yang disertakan, wortelnya masih manis mungkin wortel yang hari itu juga dipetiknya, diiris besar-besar bulat memanjang, masih serasa segar manisnya. Begitu juga irisan kentangnya, besar dan panjang rasanya beda dengan kentang pada umumnya, kentang dalam sop ini begitu digigit langsung lunak seperti bubur, mungkin kentang baru dan kadar karbohidratnya tinggi sehingga terasa renyah dan mudah pecah ketika sudah dimasak.
Daun sledri yang masih hijau membuat sop ini bertambah wangi dan indah, sehingga kesan amis daging atau tulang sapi tertutupi oleh daun sledri yang masih hijau ini.