"hewan buas, raksasa, lelembut, dedemit, gondoruwo bisa diajak membangun negara, tentunya manusia lebih mudah........"
Seni Keling, kostum kesenian ini menyeramkam dan menggelikan, begitu juga para penari serta para parogonya (pengrawit yang memainkan musik pengiring). Keling, bisa diartikan hitam (bahasa Sankerta), bisa diartikan keliling karena penarinya bermain berkeliling (membuat lingkaran), bisa juga dari bahasa Kalingga (nama sebuah kerajaan). Banyak versi tentang awal kesenian yang berasal dari dusun Mojo Singgahan Pulung di Ponorogo ini, mulai dari cerita tentang kebesaran kerajaan Kalingga dengan ratu Shima-nya yang memimpin kerajaan yang terkenal jujur dan adil, bahkan kejam pada yang berbuat salah.
Cerita tentang kerajaan Tambas Keling yang dipimpin oleh raja Bagaspati bersama para pengiringnya (prajuritnya para raksasa yang menyeramkan) yang ingin melamar putri kembar namun lamaran tersebut ditolak sehingga kedua putri kembar tersebut diculik dan akhirnya diselamatkan dan dibebaskan oleh seorang pemuda. Dan kemenangan ini dijadikan pokok cerita dimana raja dan para prajuritnya takluk dan bergabung dengan kerajaan kedua putri kembar tersebut.
Beda lagi dengan cerita pak Parmo guru sejarah SMA saya dulu, sumber cerita berasal dari datangnya Syeh Subakir yang menumbali tanah Jawa, yang kala itu dihuni para lelembut dan para genderuwo sehingga tanah Jawa tidak bisa dihuni oleh manusia, dan akhirnya para penghuni tanah Jawa tersebut bisa ditaklukan, dan untuk mengenang jasa Syeh Subakir maka diciptakannya kesenia Keling ini.
Entah mana yang benar, namanya kesenia itu selalu berkembang mengikuti jaman dan terserah kepada yang melestarikan. Namun satu kesamaan dari berbagai cerita tersebut yaitu tentang keberhasilan sesorang dalam memimpin, dimana para hewan buas, raksasa, jim, syetan, gondoruwo bisa dipimpin dan bisa diajak membangun negara. Tentunya pembelajaran buat orang sekarang yang kondisinya lebih maju dan lebih pintar agar tidak kalah dari makluk-makluk yang ada dalam cerita seni Keling.
Kerun, mungkin orang Jawa mengenal ini dengan sebutan gapura atau tugu. Kerun ini dibuat miniatur berupa daun aren. Ini menceritakan keberhasilan mengalahkan musuh sekaligus bisa memindahkan kerajaan. Kerun ini dipikul oleh pemain yang paling tua (dituakan) dan berjalan dibelakang para prajurit, putri, dan emban. Pemikul kerun ini juga sekaligus tokoh utama yaitu Syeh Subakir yang berhasil menaklukan para lelembut dan menggiringnya untuk dipekerjakannya.
Prajurit hitam hitam menceritakan para hewan buas, raksasa, lelembut, jim, syetan, dedemit, dan gondoruwo yang berhasil ditaklukkan dan akhirnya bisa diajak bekerja dan diatur untuk membangun negara.
Emban, pengasuh yang mengasuh puteri yang diculik, fungsi emban momong, mengasuh, menghibur sehingga wajahnya lucu.
Dua puteri kembar melambangkan kebanggan dan kehormatan.
Kesenian Keling sekarang diapresiasi oleh dinas terkait dan menjadikannya kesenian asli Ponorogo selain reyog, gajahan, unta-untaan dan hampir setiap ada ivent mendapatkan tempat (undangan) untuk memeramaikan seperti festival hari jadi Ponorogo kemarin. Pasti ada sisi positif dari setiap kesenian, dan kesenian sendiri terus berkembang dengan kemajuan jaman.
Kesenian Kelingpun sering didatangi oleh intansi atau para peneliti dari luar daerah sebagai bahan penelitian dan tesis. Tentu bukan mencari benar dan salah, namun keunikan dari jenis hiburan ini menggelitik untuk disaksikan atau diteliti.