Ini hanya gurauan antara peserta karnaval, maraknya jenis kesenian dan munculnya kesenian baru membuat grup seni harus kreatif dan selalu mengikuti jaman, meski risikonya pakem harus dilanggar. Begitu juga dengan seni unta dari grup desa Cekok Babadan ini. Kapan dimulai dan siapa yang memulai juga simpang siur. Namun, kesenian ini sudah marak sejak peristiwa '65 meletus. Kesenian ini adalah syiar ketika kurun waktu itu untuk para warga untuk kembali pada falsafah negara terutama tentang ketuhanan, tentang perlawanan terhadap kelompok anti ketuhanan pada masa itu.
Pak Setu salah satu anggota grup dalam penjelasannya melalui pengeras suara, menyatakan bahwa seni unta ini merupakan kesenian syariah. Sambil tertawa, dia melanjutkan penjelasannya bahwa ada bank syariah, hotel syariah, tentunya harus ada kesenian syariah. Penjelasannya ini membuat para penonton tertawa terbahak.
"Bank syariah bank tanpa riba, hotel syariah hotel yang memenuhi ketentuan agama, seni syariah seni yang mensyiarkan agama dan buat kedamaian umat...," imbuhnya, yang membuat penonton semakin tertawa.
"Tuhc... kamu disindir peserta unta-untanan karena kamu sering keluar masuk hotel yang bukan hotel syariah...," celetuk saya kepada pembawa acara yang kebetulan berada di dekat saya.
"Asyeeeeeeeem...," sahut pembawa acara menimpali celetuk saya.
Seni unta ini terdiri dari tunggangan yang dibikin menyerupai unta--baik besar, bentuk, maupun warnanya--jaman dulu dipikul oleh 2 orang yang sekaligus berfungsi sebagai unta, para pemikul bergantian. Namun sekarang diakali dengan kaki depan dikasih roda mirip roda gerobak bakso, dan pemikul di belakang tinggal mendorong maju-mundur mirip unta yang berjalan sambil mengangguk-angguk. Dan di atasnya ada anak-anak yang dirias seperti anak jazirah Arab sana, menari berlenggak-lenggok mengikuti gerakan pengusung unta-untanan.
Sementara di sekitar unta beberapa penari lelaki yang berbaju seperti baju khas Timur Tengah (Arab), menari mengitari unta sambil menyanyi. Usia mereka rata-rata sudah di atas 50-an tahun, gerakannya lucu mengundang tawa. Musik pengiringnya berupa musik rebana (samprohan) dan sebagian alat musik khas Timur Tengah. Lagu-lagu yang dibawakan pun lagu-lagu Timur-Tengahan, dan sesekali sholawatan dalam bahasa Arab. Mungkin ini bentuk apresiasi dari daerah Cekok Babadan yang di sekitarnya banyak bertebaran pondok pesantren.
Tak lama berselang muncul rombongan seni gajah-gajahan. Suaranya lebih heboh campuran musik jawa dan jedor (bedug, terbangan). Suaranya jlegar-jlegur diikuti bokong gajah yang besar megal-megol kanan-kiri, dan di atasnnya penari cantik berpakaian khas jathilan Ponorogo.
"Yo ben yo.... pakne awake dewe disindir gak syariah..... penting njoget...," kata biduan pengiring, yang artinya biar saja kalau grupnya disindir tidak syariah. Tawa penonton semakin meledak karena biduan tersebut membalas gurauan peserta unta-untaan yang barusan lewat. Sambil berjalan si biduan menari megal-megol.
"Aku yo iso syariah lo...," katanya lagi sambil memegang mikrofon.
Dan dia terus menyanyikan lagu jawa, meski musiknya heboh namun syairnya bisa membuat merinding dan sangat menyayat hati.