Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Raden Martopuro Pahlawan Terlupakan, dan Cerita Hamil 7 Beruk

Diperbarui: 14 November 2015   12:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini sudah berdiam di 'draf' hampir setahun, keraguan untuk melanjutkan karena data pendukung masih dirasa kurang. Rasa penasaran dari cerita mbah Misdi pedagang sepeda bekas di pasar loak (samping Taman Makam Pahlawan) Ponorogo. Mbah Misdi menceritakan awal mula mengapa para pahlawan dimakamkan di bersebelahan dengan pasar loak, orang Ponorogo menyebut Bon Rojo. Makam pahlawan ini dimulai pada tahun 1948-an setelah jaman merdeka, dulunya tempat ini berupa semak belukar berupa tanaman nanas hutan yang berduri. Diceritakan pula bahwa tengah tengah pagar nanas berduri ini ada kuburan sahabat karib yang dikubur setelah dihukum mati jaman Belanda. Mereka dihukum mati karena sehabis membunuh tuan asisten residen, mereka berdua dianggap membawa aib karena telah membunuh pejabat Belanda yang pangkatnya dia atas bupati dan dibawah gubernur waktu itu.

Semangat mengumpulkan rangkaian cerita semakin kuat ketika ada tarian pada hari jadi kemarin tentang cerita 'Meteng Pitung Mberuk" (Hamil 7 Beruk). Pada tarian tersebut dikisahkan para perempuan sedang bekerja di perkebunan kopi, dan kerja keras mereka seakan sia-sia karena hasil panenannya harus dijual ke pihak Belanda dengan harga yang sagat murah dibawah harga pasar, dan mereka mengakalinya dengan menyembunyikan kopi yang akan dijual di taruh didepan perut mirip orang hamil 7 bulan.

Lalu siapa mereka?  Kepahlawanan apa yang mereka persebahkan pada negeri ini? Berikut ini ceritanya yang saya susun dari berbagai sumber, baik cerita orang sekitar TMP (Taman Makam Pahlawan), Pasar sepeda, kuburan Pelem Gurih Mangunsuman, kuburan Sembung Sumoroto, dan cerita Pak Yadi Kertosari, serta buku Babad Ponorogo karangan mbah Purwowijoyo.

Kisah Sahabat Karib Seperguruan

Raden Martopuro adalah bangsawan dari Ponorogo, ia masih keturunan Raden Katong (bupati ponorogo I), ia bersahabat dengan bekas berandalan yang bernama Nurkandam, mereka berdua satu perguruan.  Jaman muda ia nyuwito (ikut) Kanjeng Jimad Bupati Pacitan, selain mengabdi mereka berguru kepadanya. Sejak saat itu mereka berdua akan setia dalam keadaan suka dan duka. "Ngisor galeng nduwur galeng, mbeguru bareng mati yo bareng" janji mereka semasa muda. Yang artinya peribahasa tersebut, atas pematang bawah juga pematang, seneng susah selalu bersama, meski mati juga bersama.

Pada jaman perang Diponegoro mereka berdua disuruh bergabung ikut perang dan mengikuti Pangeran Diponegoro, kebetulan waktu itu Pangeran Diponegoro mengungsi sambil perang gerilya di daerah Nglorok Pacitan dan Baosan (pegunungan perbatasan Ponorogo-Pacitan). Sementara Ponorogo dikuasai oleh pemerintahan Belanda yang dipimpin oleh seorang asisten Residen. Menjelang berakhirnya perang Diponegoro mereka diberi pilihan oleh Pangeran Diponegoro ketika mencapai perbatasan Gupernemen (batas wilayah pemeritahan Kasunanan dengan wilayah yang dikuasai pemerintah Belanda). Mereka boleh terus ikut ke jawa Tengah atau kembali ke daerahnya masing-masing. Raden Martopuro memilih pulang ke Bungkal kerumah orangtuanya, sementara Nurkhandam kembali ke desanya di BandarAlim.

Ketika ayahnya meninggal Raden Martopuro menggantikan ayahnya menjadi Mantri Gudang Kopi di Bungkal, sampai menikah dan mempunyai anak.

Kisah Meteng Pitung Beruk

Pada wasa itu Belanda menggiatkan tanaman kopi, setiap warga harus menanam kopi dan harus menjualnya ke pemerintah Belanda dengan harga murah dibawah pasaran. Bila ada yang menjual ke selain pemerintahan Belanda mendapat hukuman. Orang-orang Belanda sering mengadakan razia (mukmenan) sering menggeledah para petani di jalan-jalan, barang siapa ketahuan menjual kopi dipasar langsung dibawa ke penjara daerah Ponorogo.

Mengetahui situasi tersebut istri Raden Martopuro mengajari para wanita dengan menaruh kopi di depan perut dibungkus kain mirip orang yang meteng pitung sasi (hamil 7 bulan). Karena pemasukan kopi dari daerah Bungkal terus menurun Belanda menjadi curiga, terutama ketika banyak orang yang mengaku hamil yang mengadakan perjalanan jauh. Tapi lagi-lagi razia gagal tidak mendapatkan apa-apa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline