Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Tembang Macapat dan Gong Gumbeng di Pringgitan

Diperbarui: 12 Agustus 2015   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ponorogo, 1 Agustus 2015

Suara tetembangan mengalun ditengah sepi dan dinginnya malam, maklum jam sudah menujukan jam 23:15. Tetembangan tersebut halus nadanya lembut tanpa sentakan, suaranya merdu dan sesekali mirip paduan suara, sayup-sayupnya mirip tembang cokek-an tembang pesisiran hanya saja kali ini lembut melebihi lembutnya tembang keroncong. Diiringi suara gamelan mirip gamelan jawa, namun bila dicermati gamelan tersebut juga lebih halus tanpa kleningan, mirip suara kotekan bambu ketika menjelang sahur atau angklung pada paduan suara, namun lagi-lagi halus dan berirama pelan mirip kecapi.

Suara tersebut berasal dari Pringgitan, rumah dinas bupati Ponorogo tepatnya ruang pertemuan yang terbuka dihalaman belakang. Setelah meminta ijin pada penjaga (regu satpol pp) saya memberanikan masuk dan bergabung meski saya berada diluar lingkaran. Tampak puluhan orang (mungkin sekitar 80-an orang) yang rata-rata berusia diatas 60 tahun, mereka berpakain adat Ponoragan lengkap dengan blangkon atau ikat kepala, sementara ada yang berbaju puih baju koko, setelah saya amati beliau adalah bupati dan kepala dinas pariwisata. Lalu saya berjongkok sambil menganggukan kepala, isyarat untuk mohon ijin untuk memotret dan bergabung, maklum semua sedang duduk membuat lingkaran besar dan berpakain rapi, sementara saya memakai jaket yang tidak saya lepas karena kebetulan saya memakai jeans dan tishert sehingga lebih tidak sopan bila jaket jeans saya lepas. Bupati dan kepala dinas membalas anggukan saya, begitu juga yang lainnya yang melihat kedatangan saya, sambil berjalan bertumpu pada lutut saya beranjak ke tengah lingkaran, dan sayapun terus menjepret dengan hati-hati menjaga kesopanan, beruntung tadi malam saya diberi kesempatan sehingga peristiwa langka ini bisa saya abadikan.

Beruntung lagi ternyata baru dimulai, acara santai namun khidmad tanpa protokoler yang bertele-tele meskipun acara ini berada di dalam lingkup rumah dinas bupati. Dalam sambutannya bupati mengucapkan terimakasih kepada semua hadirin dimana pagelaran macapat ini bisa terselenggara, dan apresiasi pada paguyuban Songgo Buono yang telah membentuk wadah melestarikan tembang macapat di Ponorogo, begitu juga ucapan terima kasih pada paguyuban gong gumbeng dari desa Ringinanom Sambit yang terus eksis dan melestarikan kesenian yang alat musiknya tidak ada selain di desa tersebut. Bupati mereview kembali tentang berdirinya Ponorogo (babad ponorogo), tentang datangnya raden Katong (adik Raden Patah) putera Prabu Brawijaya, tentang sejarah kabupaten Ponorogo dari bupati pertama sampai terakhir secara singkat. Yang semua berasal dari berbagai ragam budaya, keyakinan, adat istiadat, asal-usul yang berbeda namun bisa membentuk Ponorogo sampai sekarang ini. Dan pada hari jadi kali ini menurut bupati jatuh pada tahun ke 519, jadi usia yang patut disyukuri.

Kepala dinas pariwisata dalam sambutan singkatnya, juga mengapresiasi seni lokal yang sudah langka ini, dan berusaha memfasilitasi agar bisa dinikmati oleh semua kalayak baik orang Ponorogo maupun luar Ponorogo.

Pak Maryono, tetua orang kebudayaan di Ponorogo menyatakan ini adalah pagelaran macapat kali ke-3 dalam memperingati hari jadi Ponorogo, bersama para penggemar macapat menginventarisasi dari kecamatan satu ke kecamatan lainnya sehingga bisa terbentuk wadah macapat ini di setingkat kabupaten, sehingga pengelolaan dan pembinaanya bisa lebih serius dipantau. ”Ada banyak ajaran dari tembang yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, tentang perilaku kita di masyarakat,” imbuhnya.

Macapat dimulai dengan tembang Pambuko (pembuka) oleh ketua paguyuban macapat, menurutnya yang ditembangkan adalah tembang Dhandang Gulo, yang sayup-sayu petikan sairnya berikut ini;

Dhandhang Gulo

Niyatingsun arsa hamiwiti
Sarasehan kidungan macapat
Den udi murih manise
Allah kang maha agung
Maha rahman lan maha rahim
Mugi ngijabahana
hajad amba sagung
Ngleluri budaya jawa
Sastrajendra hayuningrat wus cumawis
Hanjog maring hakekat

Dan setelah tembang pembuka dilanjutkan tembang Ilir-ilir gubahan Sunan Kalijogo, dan selanjutnya diartikan makna tembang Ilir-ilir tersebut, yang merupakan petuah maupun nasehat yang luar biasa tentang beragama, bermasyrakat dan bernegara.

Selanjutnya tembang ditembangkan bergiliran, berkeliling ke arah kanan penembang pertama. Meskipun usia mereka tua namun semnagatnya luar biasaya, mungkin karena faktor suka pada seni macapat sebelumnya. Setiap orang mendapat giliran, begitu juga bupati maupun kepala dinas yang berada dalam lingkaran, tembang-tembang tersebut sudah disipakan dalam bentuk buku srib yang dibagikan ketika acara dimulai, dalam buku tersebut ada beberapa tembang diantaranya dhandang gula, mijil, kinanthi,sinom, asmaradana, dan pangkur. Yang telah digubah sesuai pakem tembang masing-masing, meski sair berganti-ganti namun cara menembangkannya tetap sesaui pakem tembang, yang tiap tembang tersebut mempunyai kosa kata terakir berkahiran sama dengan pakem setiap tembang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline