Lihat ke Halaman Asli

Nanang Diyanto

TERVERIFIKASI

Travelling

Desa Perdikan; Apresiasi Raja Buat Rakyatnya Yang Berjasa

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1431310097136821078

[caption id="attachment_365360" align="aligncenter" width="510" caption="Astana Srandil, desa perdikan yang dihadiahkan Sinuwun Pakubuwono pada masyarakat desa Srandil "][/caption]

Ponorogo, 11/05/2015

Ada 9 desa perdikan di Ponorogo, diantaranya Setono, Pulung Merdiko, Menang, Nglarangan, Taman Arum, Tegalsari, Karanggebang, Srandil, dan Tajug. Istilah perdikan mirip dengan merdeka, hamardiko, mahardika, ataupun bebas. Desa perdikan merupakan bentuk apreasiasi (hadiah) dari raja yang diberikan kepada rakyatnya yang diangap berjasa pada negaranya. Dan terjadinya desa perdikan di satu wilayah dengan wilayah lainya tidak sama, mempuyani sejarah dan cerita unik sendiri-sendiri. Dulu sebuah desa perdikan, semua rakyat dibebaskan dari segala bentuk pajak negara, bebas kerja paksa, segala urusan diatur sendiri oleh desa perdikan, namun demikian tidak boleh bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan oleh negara (Babad Ponorogo).

Di desa Setono Kota Lama merupakan tempat jasad-jasad pendiri Ponorogo dikebumikan, dan merupakan cikal bakal kabupaten Ponorogo oleh negara saat itu desa Setono dimerdekakan.

Di desa Tegalsari dan Karanggebang  hadiah dari raja karena Kyai Mohammad Besari  memajukan agama Islam dan Sinuwun Pakubuwono pernah ke Tegalsari ini ketika terjadi serangan di Surakarta.

Dan berikut ini akan saya ceritakan tentan desa perdikan Menang dan Srandil, lokasi desa ini bersebelahan, jalur Ponorogo ke Wonogiri.

[caption id="attachment_365362" align="aligncenter" width="510" caption="Gapura reyog masuk desa Menang"]

14313113032066993287

[/caption]

Desa perdikan Menang masuk wilayah kecamatan Jambon, satu-satunya desa perdikan di Ponorogo yang tidak diketemukan makam penguasa atau makam bangsawan.

Pada tahun 1742 Sinuwun Pakubuwono II mengunsing ke Ponorogo karena ada serangan yang dipimpin Raden Mas Garendhi yang dibantu orang Cina dari Semarang. Keraton Kartusuro berhasil dibobol, Sinuwun beserta istri dan anaknya yang dikawal prajurit melarikan diri ke arah timur mencapai wilayah Ponorogo. Sampai di daerah Sawoo dan Tegalsari, dan setelah mendapat masukan dari Kyai Ageng Mohammad Besari di Tegalsari, Siunuwun bermaksud kondur ke Kartosuro, dan sampai di daerah ini sudah kemalaman sehingga Sinuwun beserta rombongan menginap di rumah warga, yang sering dikenal Mbok Rondo Punuk karena seorang janda yang gemuk badannya. Di rumah ini Sinuwun beserta rombongan dihidangkan jenang katul (dedak) yang diwadahi lemper (dari tanah liat), Sinuwun terlihat lahap daharnya, waktu itu belum ada sendok, Sinuwun dahar memakai daun beringing sebagai pengganti sendok, Sinuwun dahar dari tengah dan menepi ke pinggir. Dan ketika sampai tepi jenang tidak bisa dimakan karena daun beringin sudah lemas layu karena terkena panasnya jenang katul.

Lalu Mbok Rondo Punuk spontan berucap, "Menyuap makanan kok dari tengah, pertanda kalau perang pasti kalah, coba dari tepi sedikit demi sedikit ke tengah, kalau perang pasti menang."

Lalu Sinuwun tersentak dengan ucapan pemilik rumah ini, karena ucapannya mengandung filosopi perang, dan dirumah ini Sinuwun menyusun siasat perang seperti kata-kata mbak Rondo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline