Lihat ke Halaman Asli

Masa Muda yang Tak Muda: Chapter 11

Diperbarui: 30 April 2019   22:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Chapter 11: Kehilangan, Hampa....

Angin malam semakin kencang, selama di perjalanan ibu diam tanpa suara sedikitpun, ibu hanya menundukkan kepala sambil terus berdoa, bahkan Tio tidak berani memulai pembicaraan dengannya.

Tak lama mereka sampai di rumah sakit, ibu sudah sangat tergesa-gesa ingin segera menemui putri-putrinya, "cepat tio antar tante ke ruangan kayla dan kiran" ibu menarik lengan tio dengan cepat, ia sudah tidak sabar lagi ingin memastikan semuanya. 

Suster kembali mengantar mereka karena hanya petugas yang bisa mengantar keluarga korban ke ruangan itu. Setibanya di depan pintu, ibu meminta waktu kepada suster untuk tidak segera membukanya, ibu menarik nafas dan akhirnya "ayo suster, buka pintunya sekarang!" intruksi ibu keluar dan susterpun segera membukakan pintu dan langsung menuju jenazah kayla, kiran dan pak didi. 

Setelah suster menunjukan 3 jenazah yang masih di tutup, ibu meminta agar dia saja yang membuka penutupnya "Biar saya yang membukanya sendiri suster!" dengan mengumpulkan kekuatan maksimal, ibu perlahan dan gemetar membuka penutup jenazah satu persatu dan tangis yang coba ia tahan pun akhirnya pecah, keadaan ibu saat itu seperti sedang berada di ruangan gelap tanpa cahaya setitikpun, semuanya gelap, semuanya hening.

ia tak lagi merasakan apapun dalam tubuhnya, ia seperti terbawa dalam kegelapan yang tak berujung, tangis histerisnya tak bisa di hentikan, ia semakin menggila ketika suster kembali menutup jenazah kedua putrinya, ia tak bisa berkata-kata, yang keluar dari mulutnya hanya teriakan nama putri-putrinya diiringi tangisan yang menyakitkan bagi siapapun yang mendengarnya saat itu. 

Tio segera memapah ibu keysa ke ruangan dokter yang bertanggungjawab atas genta dan adik-adiknya. Dokter menjelaskan kondisi genta, bahwa genta ada kemungkinan cacat seumur hidup, genta tidak akan bisa berjalan dengan kondisi tulang punggung dan kondisi kakinya seperti saat itu. 

Ibu memohon kepada dokter untuk melakukan segala cara agar putranya tidak cacat, tapi dokter hanya mengatakan bahwa ibu harus sabar dengan situasi itu, karena genta butuh support keluarga dalam kondisinya saat ini. 

Hari itu adalah hari terburuk dalam keluarga Kinan, lebih buruk dari berpisah dengan ayah, Kinan menyadari bahwa kakak-kakaknya tidak akan kembali lagi, tidak akan bisa berkumpul lagi, mereka sudah beristirahat tanpa harus merasakan rindu pada ayah setelah itu. 

Ibu yang dulu selalu berusaha untuk tetap tersenyum meski dalam kondisi terburuk sekalipun, setelah hari itu, Ia terlihat murung setiap kali bangun dan memulai harinya, hingga fajar kembali tenggelam, ada kalanya dalam hening malam ibu menangis sendiri di kamarnya, ibu merasa bersalah dengan semua yang terjadi, karena pada hari itu dia yang meminta semua orang di rumah untuk berlibur ke jogja dan menggunakan kendaraan pribadi. 

Semua orang sudah memberikan pengertian pada ibu bahwa semua itu kecelakaan yang sudah di takdirkan oleh Tuhan, manusia tidak bisa menolak itu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline