Lihat ke Halaman Asli

riza bahtiar

Penulis lepas

DKJ: Dialektika IKN, Otoritarianisme, Sentralisasi Lagi

Diperbarui: 11 Desember 2023   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

DKJ sama sekali tak berhubungan dengan kesenian. Singkatannya bukanlah Dewan Kesenian Jakarta. DKJ yang ini memiliki singkatan Daerah Khusus Jakarta. Akronim baru ini musti kita akrabi. 

UU DKJ diusulkan oleh DPR. Mayoritas. Hanya satu fraksi yang menolak, fraksi PKS. Isi UU DKJ menyatakan bahwa gubernur DKJ dipilih oleh presiden dari usulan DPR. 

Menurut fraksi PKS yang menolaknya, UU ini mengebiri demokrasi. Hak rakyat Jakarta utamanya nan dikebiri. Sementara, mewakili fraksi-fraksi mayoritas yang mengesahkan, UU DKJ disebut masih demokratis, karena ada peran DPR dalam memilih. Di sini ada dua logika demokrasi yang bertumbukan. Demokrasi langsung versus demokrasi perwakilan.

Indonesia Pasca-Reformasi memilih jalan memilih wakil-wakil rakyatnya dengan langsung. Partai hanya sarana. Pelengkap. Betapa tidak, siapa pun orangnya, dia berhak untuk masuk partai dan mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. 

Karenanya, saat pemilu, para konstituen cenderung memilih orang yang dikenali, bukan partai. Keluhan partai-partai, kaderisasi merekajadinya kurang berjalan. 

Partai-partai tertentu menekankan pegangan ideologisnya dengan berusaha menggerogoti bahkan menghilangkan bentuk 'demokrasi langsung' ini. PDI-P didukung PKB pernah mengajukan usulan pemilihan langsung tak lagi dilakukan, sebagai gantinya, memilih partai. Namun, usulan ini ditolak publik. 

Pada pendirian IKN, rezim Jokowi menyuntikkan paham demokrasi representatif ini. IKN dibikin sebagai wilayah Otorita. Kepala pemerintahan IKN tak dipilih rakyat, tapi, oleh Presiden. Karena itulah namanya bukan Gubernur, tapi, Kepala Badan Otorita. 

Argumen tindakan ini adalah pendirian daerah Otorita Batam semasa Orde Baru. B.J. Habibie terpilih sebagai Kepala di masa itu, sesuai usulannya. 

Logika IKN lantas dipakai lagi ke DKI Jakarta. DKI yang singkatannya Daerah Khusus Ibukota tak lagi absah, karena "I"-nya sudah diambil IKN. Jadinya disingkatlah DKJ. 

Dan, untuk memantapkan tekad "masa depan" baru, dijadikanlah DKJ sebagai wilayah Otorita. Perbedaannya, kepala Otorita DKJ terlebih dahulu diusulkan DPR, lalu dipilih oleh Presiden. Demokrasinya dianggap masih ada. 

Betulkah demikian? Bila melihat alurnya, logika IKN diteruskan DKJ ini, tak lain ia merupakan bentuk otoritarianisme baru. Dan, ini tegas namanya pada IKN maupun DKJ sebagai wilayah Otorita yang harus dibaca: Otoritarianisme. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline