Lihat ke Halaman Asli

Dangdeur, Bi Rohanah, dan Ibu Saya

Diperbarui: 17 November 2022   08:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

KAMI menyebutnya "dangdeur", meski Anda menamainya "singkong". Kata lain dari ubi kayu. Makanan sekunder yang kerap kami konsumsi saat kecil di kampung, entah Anda.


Dangdeur tak asing bagi kami, tak hanya ubi-nya yang dikonsumsi, daun mudanya juga menjadi makanan penyempurna untuk lalap, setelah direbus. Jika merasa bosan lalapnya, daunnya juga bisa dibikin sayur lodeh. Soal rasa, jangan tanya, apalagi meragukannya.

Masih soal daun dangdeur ini, seingat saya, saat kecil dulu, umur 8 atau 9 tahun-an, saya kerap melihat sejumlah tumpukan daun dangdeur dalam mobil bak terbuka (losbak). Sebuah pemandangan rutin yang selalu saya lihat setiap petang menjelang magrib.

Biasanya dua atau tiga mobil losbak nongkrong di depan jalan, depan masjid kampung kami, bertugas menunggu pasokan daun dangdeur dari para pencari daun tersebut. Setelah bak penuh, kemudian daun dangdeur tersebut diangkut ke kota untuk memenuhi permintaan (demand) kebutuhan kaum urban.

Pengumpul daun dangdeur, seorang perempuan tangguh, yang saya kenal, saat itu adalah Bi Rohanah. Ia pekerja keras yang luar biasa. Saya salut melihat kinerjanya. Setiap hari ia bisa mengumpulkan sejumlah ikatan daun dangdeur, entah dari mana sumbernya. Yang jelas, hasil yang ia kumpulkan selalu maksimal.

Saya baru sadar sekarang, saat saya merangkak dewasa dan tinggal di kota. Kemudian sesekali makan di rumah makan padang. Nasi padang selalu menyajikan rebusan daun dangdeur, setia mengiringi nasi dan lauknya. Ternyata, daun dangdeur yang dulu disuplai Bi Rohanah, salah satunya untuk kebutuhan tersebut, selain kepentingan dan kebutuhan konsumsi yang lain.

Sungguh baik hati dan mulianya seorang Bi Rohanah dalam konteks di atas. Ia berusaha maksimal memenuhi permintaan warga kota untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi mereka. Bayangkan jika tak ada Bi Rohanah dan 'teman sejawatnya', kaum urban tak bisa makan enak nasi padang karena minus daun dangdeur tersebut.

Kembali ke dangdeur (baca: ubi kayu). Siang tadi, di belakang rumah orang tua  saya teronggok sejumlah ubi kayu. Saya tanya kepada Ibu dari mana dangdeur itu berasal. "Itu, sisa-sisa hasil kebun di belakang rumah, kecil-kecil dangdeurnya", jawabnya. "Mau dibikin apa, bu?", tanyaku kemudian. "Ya, bisa dibikin apa saja. Digoreng bisa, direbus bisa, diolah menjadi gengsot, kalamenco, dan sejenisnya". Timpalnya kemudian.

Dibutuhkan kreatifitas untuk mengolahnya menjadi lebih bernilai tinggi. Apapun benda atau barangnya, terlebih makanan. Ia akan menjadi lebih bernilai secara fisik, pula secara ekonomi. Terima kasih Bi Rohanah dan Ibu Saya. Kalian berdua adalah inspirasi kaum perempuan masa kini. Kerja keras dan kreativitas adalah jalan baru menghadapi kenyataan hidup di masa kini dan mendatang. Salut!

Gunung Buntung- Sabtu Siang, 13 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline