Sekitar dua atau tiga hari yang lalu, saya mengakrabi Pak Abdul Gaffar Karim di facebook-nya. Kirim komentar atau memberikan "like" pada beberapa status update-annya. Sebenarnya, saya berteman di medsos dengan beliau sudah lama, namun baru beberapa hari itu saling menyapa.
Saya mau tanya serius: "Siapa di antara para pembaca (adalah) mahasiswa Fisipol UGM Yogyakarta yang tak kenal dengan Pak Abdul Gaffar Karim?" Sungguh terlalu, jika benar demikian. Saya rasa mustahil, jika di antara mereka, baik yang mengenyam kuliah di bangku strata satu, dua dan tiga, ada yang tak mengenali beliau. Paling-paling kadar atau intensitas kenalannya yang berbeda. Variatif, bisa kategori high, medium atau low.
Berbeda, jika pertanyaannya ditujukan kepada selain mahasiswa yang saya sebutkan di awal. Jawabannya, pasti spekulatif! Toh, beliau juga 'manusia biasa' yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Tak harus semua mengenalinya.
Beliau orangnya "low profile", tak haus ketenaran, sehingga harus membuat adegan prank, misalnya, seperti yang dilakukan para pengisi konten youtube (baca: youtuber) demi menjaring sejumlah 'viewer' yang berimbas pada raupan ekonomi.
Salah satu indikator yang menunjukkan bahwa Pak Gaffar, begitu saya memanggilnya, sangat low profile, tak haus "ketenaran semu" adalah ketika beliau menuangkan kejengkelannya dalam satu status panjangnya di facebook (6 Juni 2020, pukul 10.07 WIB) soal flyer webinar. Kok bisa, apa yang terjadi?
Demikian tulisnya : "Ada tiga acara webinar hari ini hingga lusa, yang saya enggan mau membagikan flyernya di medsos. Sebabnya adalah: nama saya dan para narasumber lain ditulis dengan gelar berderet-deret. Saya sudah eneg dengan kedoyanan sebagian di antara kita akan gelar akademik. Gejala new feudalism ini sangat addictive. Levelnya sudah sama seperti adiksi pada rokok. Adiksi pada rokok beda dari adiksi pada narkoba atau miras.
Adiksi pada narkoba dan miras kerap disikapi dengan rasa malu oleh penyandangnya. Tapi adiksi pada rokok biasanya disikapi dengan bangga oleh para penyandangnya. Kebanggaan itu bahkan kerap ideologis. Adiksi pada rokok diperlakukan sebagai hak ideologis. Ini mirip dengan adiksi pada gelar akademik.
Adiksi semacam itu harus disembuhkan. Kasihan para penyandangnya jika tak dibantu menemukan kesembuhan. Karena itu, sejauh saya punya kendali, saya selalu minta agar nama di flyer, poster atau backdrop ditulis tanpa gelar apapun. Cukup Abdul Gaffar Karim. Kalau ada flyer yang tetap mencantumkan nama saya dengan gelar, terpaksa tidak saya bagi di medsos. Kalau saya ditag, terpaksa saya un-tag. Mohon maaf..."
Bayangkan, sekelas beliau, yang mempunyai jabatan struktural di kampusnya dengan sederet gelar akademik yang diperolehnya dari kampus dalam dan luar negeri. Beliau peroleh dengan perjuangan ekstra, mengeluarkan keringat, air mata dan darah, tapi enggan beliau sandingkan dengan depan atau belakang namanya.
Sungguh sangat paradoks dengan perilaku mereka, para pemuja gelar akademik. Banyak di antara kita yang ijazahnya pun didapat dari hasil beli (baca: ijazah bodong), dengan bangga dan sombongnya kerap ia letakkan mengiringi nama atau identitas pribadinya. Tengok saja, misalnya, perilaku mereka yang ingin selalu dipanggil lengkap dengan deretan gelar akademik saat sambutan di hadapan rakyat kecil atau bawahannya. Dan sejumlah kasus lain yang serupa.
Dalam konteks ini, Pak Gaffar memberikan teladan bagi kita, para pemuja gelar, dengan memboikot (baca: tak ia publikasikan) media flyer dan sejenisnya ketika nama lengkapnya ditulis dengan gelar deretan lengkap akademiknya. Salut!