Tanggal 10 November selalu diperingati Hari Pahlawan, sebagai bentuk apresasi tertinggi kepada mereka yang telah berjasa untuk negeri ini. Saking hebat dan berjasanya terhadap negeri ini, di Surabaya dibangun sebuah monumen yang dijadikan markah kota tersebut, yakni Tugu Pahlawan. Monumen tersebut dibangun bermuatan historis dan filosofis. Tingginya, 41,15 meter, berbentuk lengkungan (canarules) berjumlah 10 lengkungan. dan terbagi menjadi 11 ruas.
Angka-angka di atas bukan sembarang angka. Sepuluh lengkungan mempunyai makna perlawanan arek-arek Suroboyo melawan tentara sekutu dan Belanda dalam peristiwa agresi militer tanggal 10 Nopember. Sebelas ruas menerjemahkan bulan peristiwa tersebut, dan 41,15 adalah tafsiran tahun di mana insiden itu berlangsung.
Jika kita merujuk pada etimologi kata “pahlawan”, kita semua harus menjadi pahlawan, setidaknya bagi diri kita sendiri. Menurut Wikipedia, pahlawan adalah bahasa Sansekerta, berasal dari akar kata; phala dan wan, berarti orang yang dirinya menghasilkan buah phala yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama atau bisa ditafsirkan sebagai orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. atau pejuang gagah berani.
Setiap individu yang menyuguhkan buah kualitas tinggi untuk negerinya adalah pahlawan. Hendaklah, kaum agamawan menjadi pahlawan bagi umatnya, jangan jadi pengancam bagi yang berbeda tafsir dengannya. Politisi seharusnya menjadi pahlawan bagi konstituennya, jangan pernah menipunya.
Jenderal mestinya jadi pahlawan bagi anak buahnya, jangan sekali-kali arogan kepada prajuritnya. Presiden sejatinya menjadi pahlawan bagi rakyat kecilnya, jangan jadi penghamba Amerika atau China. Begitu juga bagi para menteri, kepala daerah dan lain sebagainya.
Kegaduhan negeri ini, terutama menjelang pilpres atau pada saat pilpres 2019, semestinya berhenti setelah ditetapkannya presiden dan wakil presiden terpilih. Energi yang tersisa hendaklah dipakai untuk membangun negeri, bukan sebaliknya. Negeri ini menunggu pahlawan-pahlawan baru untuk kemajuan, kesejahteraan dan kejayaan. Jangan mau diadu domba. Jadikan Pancasila sebagai perekat, pemersatu bangsa ini untuk Indonesia merdeka dan Indonesia Jaya.
Sekilas Tentang Syafi’i Ma’arif
Ahmad Syafi’i Ma’arif lahir pada 31 Mei 1935 di Sijunjung, Sumatera Barat. Beliau mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 1998-2005 yang sangat moderat dan bersahaja dan membuat ormas Muhammadiyah ini di era kepemimpinannya disegani oleh beragam kalangan; politik, agama, dan budaya.
Pendidikan beliau diawali dari Sekolah Rakyat (SR) di Sumpur Kudus pada 1942 selain belajar juga soal agama di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah sore harinya. Sedangkan malam harinya ia belajar mengaji di surau. Ia tamat SR pada 1947, namun karena beban ekonomi, ia baru bisa meneruskan sekolahnya di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Balah Tengah, Lintau, Sumatera Barat, pada 1950, dan berlanjut di Madrasah Muallimin Muhammadiyah, Yogyakarta hingga tamat pada 1956. Berbekal ilmu dari Muallimin, Syafii merantau ke Lombok Timur dan mengabdi selama setahun di sekolah Muhammadiyah.
Tahun 1964 Syafi’i Ma’arif mendapat gelar Sarjana Muda dari Universitas Cokroaminoto, kemudian mendapatkan gelar sarjana penuh dari IKIP Yogyakarya (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) empat tahun kemudian. Selanjutnya, gelar Master of Arts diraihnya dari Ohio University, Amerika Serikat (AS) pada 1979 dan gelar doktoralnya diperoleh dari University of Chicago di negara yang sama pada 1983.
Selama di Chicago inilah, Syafi’i Ma’arif secara intelektual dibimbing tokoh pembaharu Islam, Fazlur Rahman, serta terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang juga tengah belajar di tempat yang sama. Kepakarannya kian lengkap setelah menjadi Guru Besar Ilmu Sejarah pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) IKIP Yogyakarta (sekarang Fakultas Ilmu Sosial UNY).