Pilkada serentak tahun 2017 beberapa bulan ke depan akan segera dimulai. Calon kepala daerah di setiap kabupaten, kota dan propinsi di Indonesia telah bermunculan. Mereka didukung oleh partai-partai politik yang siap memenangkan di belakangnya. ‘Genderang perang’ sudah ditabuh, semuanya bersiap dengan segala kemampuan, strategi dan siasat yang dimiliki. Demi satu kata, yaitu “menang”.
Demikian sekelumit gambaran bagaimana hiruk pikuk kehidupan demokrasi di negeri ini. Pesta demokrasi sejatinya melahirkan suasana demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap pasangan calon dan tim sukses semestinya tidak menganggap rivalnya sebagai musuh yang akan mengancam dirinya, mereka adalah patner yang akan membawa kehidupan rakyat yang dipimpinnya menuju kesejahteraan. Sehingga saat “pertarungan” usai, yang menang menjadi pemimpin yang amanah, tak memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan golongannya, dan yang kalah bersikap legowo, hendaknya ikut serta mendukung kebijakan-kebijakan yang prorakyat sang pemenang. Karena tujuan utama dari kepemimpinan adalah kesejahteraan rakyat, dimana mereka bisa mencicipi manisnya kue demokrasi tersebut.
Lihatlah kondisi realitas di lapangan kini, kampanye hitam telah menjadi amunisi panas yang siap menembak mati rival politiknya. Pilkada tidak saja memicu emosi kelompok partai meluap sampai 180 derajat, tetapi juga hubungan emosinal kesukuan dan keagamaan muncul seketika menebar erosi pemikiran yang komsumtif dengan kepentingan golongan. Salahsatu kasus adalah panasnya pilkada DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang populer dipanggil Ahok, sebagai calon gubernur petahana yang lahir sebagai cina dan non muslim telah melahirkan emosi ras dan agama yang sangat kuat. Dia menjadi sasaran empuk rasisme.
Berebut Tafsir Ayat Suci
Pernyataan kontroversial calon gubernur petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang mengutip QS.Al-Maidah: 51, terus menimbulkan reaksi. Ahok dituduh telah melakukan penistaan agama. PP Pemuda Muhammadiyah sebagai salahsatu ormas Islam telah melaporkan Ahok ke pihak berwenang karena kasus tersebut. Namun, di pihak lain, muncul pula pembelaan terhadap Ahok. Akhmad Sahal salahsatunya, sebagai kader muda NU, ia menampik tuduhan bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama. Sahal menyebutkan bahwa Ahok tidak bermaksud menghina Al-Quran. Dia hanya mengomentari fenomena adanya manipulasi kesadaran orang dengan memakai ayat 51 QS. Al-Maidahdan ayat-ayat lainnya untuk melarang menjadikan pemimpin mereka adalah non-Muslim.
Anjuran dari ulama Islam untuk tidak memilih pemimpin yang kafir, menurut Sahal adalah kategori SARA. Ahok saat itu bicara di depan masyarakat Pulau Seribu, seperti ini "Bapak ibu ndak bisa memilih saya dibohongi pake surah Al-Maidah: 51 dan macem-macem itu. Itu hak bapak ibu. Ya, jika bapak ibu perasaan tidak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, ya enggak apa-apa. Karena ini kan panggilan pribadi bapak-ibu. Program ini jalan saja. Jadi, bapak ibu tak usah merasa enggak enak dalam nuraninya enggak bisa memilih Ahok." Yang dipersoalkan Ahok bukan ayat-ayat Al-Quran yang suci dan mulia, tetapi ulah sekelompok orang yang mempolitisasinya untuk mengobarkan sentimen SARA.
Menurut Ahok, ia tidak sedang melecehkan Islam tapi justru mengingatkan bahwa ayat'ayat kitab suci agama apapun bisa disalahgunakan sekelompok orang untuk menghancurkan toleransi, kebhinekaan dan perdamaian dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun, mayoritas ulama Islam telah sepakat bahwa non muslim tak bisa menjadi pemimpin untuk mayoritas muslim, dan kaum muslim dilarang keras menjadikan pemimpin mereka adalah non muslim. Hal ini didasarkan pada ayat 51 QS. Al-Maidah tersebut.
Pertarungan opini di lini masa terkait pernyataan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama di atas, sesungguhnya adalah perebutan tafsir terhadap teks ayat suci Al-Quran yang “mati”. Bagaimanakah konteks ayat tersebut kala turunnya (asbabun nuzul)? Siapakah yang berhak menafsirkannya? Tafsir siapakah yang paling benar?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu mendapatkan penjelasan yang utuh, komprehensif, dan paripurna agar umat yang berada di bawah lebih terbuka wawasannya, cerdas dalam memahami “ayat-ayat sensitif” tersebut, sekaligus arif dan bijak dalam menyikapi perbedaan-perbedaan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat yang majemuk ini.
Jika rujukan yang dipakai terjemahan Departemen Agama mengenai QS. Al-Maidah: 51, sejak lama sudah menuai kontroversi dan kritik dari para cendekiawan muslim, salahsatunya dari Quraish Shihab. Menurutnya, dalam Tafsir Al-Misbah yang ia susun, kata auliyadalam ayat tersebut tidak harus diidentikkan dengan pemimpin. Kata auliyamerupakan bentuk plural dari kata wali yang terjemahannya bisa berarti teman, wakil atau pemimpin. Misalnya, seorang anak wanita yang hendak menikah, bapaknya menjadi wali baginya. Dalam dunia tasawuf, terdapat seorang guru yang dipercayai menjadi wali Allah, wali tersebut diterjemahkan sebagai wakil Allah di bumi yang diberi keistimewaan berupa karamah.
Jadi sangat rigid jika terjemahan kata auliyahanya diterjemahkan tunggal sebagai pemimpin. Jika yang dimaksud adalah pemimpin politik dan pemerintahan, Al-Quran telah menyebut spesifik pada QS. An-Nisa: 59. Dalam ayat tersebut ada kata ulil amri,yang lebih cocok dan pas jika diterjemahkan sebagai pemimpin politik. Meskipun banyak pendapat mengenai sebab turunnya ayat tersebut (asbabun nuzul) tetapi dalam nuansa politik.
Maka sangat paradoks jika kata auliyayang memiliki makna ganda hanya diterjemahkan sebagai pemimpin, sedangkan kata ulil amri yang mempunyai arti spesifik sebagai pemimpin dalam bidang politik dan pemerintahan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Inilah yang saya maksud, QS. Al-Maidah: 51 menjadi ayat yang paling diperebutkan untuk dijadikan alat pembenar tafsirannya masing-masing. Jangan sampai ayat Al-Quran dipolitisasi oleh para politikus yang haus akan kekuasaan. Ayat Al-Quran diambil sepotong-sepotong demi syahwat kekuasaan tanpa melihat Al-Quran secara paripurna. Jangan sampai juga Al-Quran hanya dibaca saat pilkada saja, sisanya ‘tergolek mesra’ di lemari tanpa sentuhan pembacanya.