Tahun 2021, pada semester 2 masa pembelajaran di sekolah akan dibuka kembali secara normal/tatap muka. Paling tidak redaksi yang dihasilkan dari pengumuman oleh beberapa menteri pada tanggal 20/11/2020 yang mengacu kepada keputusan bersama melalui SKB empat mentri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri) mengumumkan perizinan dengan beberapa ketentuan yang berpedoman kepada protokol kesehatan tentang pelaksanaan belajar di sekolah secara tatap muka pada Januari 2021.
Pemerintah mempersilahkan Pemerintah Daerah atau Kementerian Agama memberikan izin secara bertahap dan izin pamungkas oleh satuan pendidikan serta orang tua murid. Dengan itu Pemerintah Daerah diminta mempertimbangkan sejumlah faktor saat memberikan izin, antara lain: tingkat risiko wilayah, kesiapan fasilitas kesehatan dan pendidikan, akses dan kemudahan belajar dari rumah, serta kondisi psikososial murid.
Pertanyaannya adalah, apakah intruksi (baca; anjuran) pemerintah yang diumukan berdasarkan SKB 4 menteri itu dapat direalisasikan secara baik dengan berbagai konsekwensilogisnya? Apakah semua pihak, terutama stakeholder lembaga sekolah telah diinspeksi scara menyeluruh oleh pengawas, pejabat yang berwenang untuk dinyatakan siap melaksanakan pembelajaran secara tatap muka di awal tahun 2021 nanti?
Ada beberapa konsekwensilogis yang menurut saya sangat perlu diperhatikan mengenai keputusan mengizinkan belajar secara tatap muka pada tahun 2021 tersebut. Beberapa konsekwensilogis itu adalah:
Pertama sisi kesiapan pihak Pemerintah Daerah, dengan berbagai aturan dan prosedur yang jelas dan disosialisasikan dengan baik. Dalam beberapa catatan, bahwa pada masa ketika pemerintah memberikan relaksasi situasi menghadapi pandemi ini dengan menetapkan adaptasi kebiasaan baru (new normal), aturan tidak tersosialisasikan secara menyeluruh dan dikawal dengan baik, sehingga kemunculan cluster baru covid 19 terjadi lagi, angka suspect yang terinfeksi virus menunjukkan peningkatan.
Sebagian daerah, pemerintahnya begitu tegas memantau dan bahkan mengontrol secara konsisten hingga memberikan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Namun di daerah lain yang kondisinya belum berada di zona hijau nampak aturan mengenai protokol kesehatan seperti selalu menggunakan masker, berjaga jarak, tetap diabaikan.
Lebih menyedihkan lagi sempat viral di media sosial beberapa oknum tenaga medis melakukan aktifitas berjoget bersama tanpa masker. Sebuah tontonan aksi yang kontra produktif terhadap semangat pemerintah untuk menyikapi situasi pandemi.
Kedua sisi kesiapan sekolah. Ini tentu sangat sensitif dan riskan. Pemerintah Daerah, Kabupaten hingga Kecamatan, perlu mempersiapkan aturan yang ketat dan disosialisasikan juga secara intensif kepada sekolah-sekolah.
Mungkin sebagian besar sekolah swasta sudah cukup siap dengan perangkat dan sarana protokol kesehatan di sekolahnya masing-masing. Namun belum tentu di sebagian sekolah milik pemerintah di kota kecil atau desa yang sarana prasarananya amat terbatas. Oleh karenanya selain kesiapan aturan protokol kesehatan, pemerintah harus menjamin bahwa pada sekolah-sekolah tersebut, dukungan perlengkapan untuk memulai kegiatan pembelajaran secara tatap muka (dengan memperhatikan protokol kesehatan) tersedia dengan cukup dan layak.
Menurut epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman, bahwa pembukaan sekolah memang harus mempertimbangkan banyak faktor. Meski sejumlah faktor itu terpenuhi, akan tetapi ia tetap ragu kebijakan ini tidak memberikan dampak buruk apa-apa sebab persentase kasus positif (positivity rate) Indonesia masih tinggi (di atas 10 persen). Sementara WHO telah menyatakan untuk pelaksanaan kegiatan masyarakat, positivity rate harus kurang dari 5 persen dalam dua pekan berturut-turut. Tentunya jika melihat kondisi di lapangan, hal itu masih belum terpenuhi.
Oleh karenanya menurut epidemolog tersebut pencapaian rate itu rada sulit /pesimistis terpenuhi pada awal tahun depan. Persoalannya pemerintah pusat dan daerah belum optimal mengupayakan penurunan jumlah kasus positif tersebut. Pemerintah harus gencar membuat peta dan perbaikan strategi 3T (testing, tracing, dan treatment). Ketika prosentasemasih tinggi, potensi penyebaran virus di kalangan siswa mulai dari tingkat SD hingga SMA sangat tinggi juga. Begitu pula dengan para guru, orang tua, dan semua yang terlibat dalam lingkungan satuan pendidikan.
Kemudian ketiga, sisi tenaga guru di sekolah, murid dan orangtua murid. Semua memaklumi, proses pembelajaran secara daring yang sudah dijalankan kurang lebih 8,5 bulan ini menimbulkan rasa jenuh, kesulitan mengikuti proses belajar bagi anak dan kesulitan mendampingi bagi orangtua. Tidak sedikit terjadi demotivasi belajar pada anak-anak, selain karena berbagai kendala teknis orangtua dalam mendampingi anak belajar dari rumah, proses belajar mengajar secara daring juga masih belum optimal dilaksanakan oleh guru. Disebabkan karena kesiapan prosedur mengajar yang menuntut skill tambahan menggunakan aplikasi berbasis internet, juga keterbatasan sarana dan prasarana saat mengajar terkait kuota data internet.
Banyak keluhan disampaikan para orangtua tentang masalah yang dihadapi saat mendampingi proses belajar dari rumah selama masa pandemi ini. Masalah-masalah itu cukup membuat stress, emosi yang sering membuat suasana belajar anak di rumah tidak kondusif.
Keterbatasan perangkat pendukung juga menjadi salah satu hal yang membuat para orangtua merasa belajar dari rumah atau secara daring harus segera dihentikan.
Semua akumulasi permasalahan emosi dan psikologis anak-anak di rumah perlu mendapat perhatian dari semua stakeholder lembaga pendidikan, tatkala belajar secara tatap muka akan kembali diberlakukan.
Kesiapan guru untuk memulai kembali belajar normal di sekolah, tidak sebatas persiapan teknik akademik. Perubahan kembali pola didaktik dari daring kepada tatap muka atau luring, perlu difasilitasi oleh guru dengan pembiasaan kultur baru di sekolah, yaitu pembiasan pola hidup bersih dan sehat. Kesadaran para siswa khususnya murid sekolah dasar masih sangat butuh arahan dan pendampingan oleh guru dan juga orangtua ketika mereka memasuki kembali masa belajar normal pasca PSBB.
Di antara persiapan yang sangat perlu diperhatikan oleh guru, murid dan orangtua ialah protokol kesehatan saat kedatangan di sekolah, protokol kesehatan saat proses belajar mengajar berlangsung, durasi pembelajaran, masa reses atau jeda pembelajaran, pengaturan kelas dan area bermain, kelengkapan pendukung kebersihan sekolah, dan perlengkapan protokol kesehatan serta konsistensi pengawasan pihak sekolah, tenaga non kependidikan, bahkan pihak berwenang dari dinas terkait yang bertanggungjawab atas tindakan preventif juga kuratif dari penularan virus covid 19, sehingga membuat cluster baru di sekolah in, perlu disiagakan secara terkoordinir bersama satuan pendidikan.
Jika memang kesiapan berbagai aspek dari sisi-sisi tersebut di atas belum secara meyakinkan bisa ditangani, maka seperti pendapat dari ketua Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim perlu dipertimbangkan, yaitu untuk tidak tergesa-gesa membuka sekolah untuk belajar secara tatap muka. Alasannya karena hingga kini vaksin Covid 19 belum secara resmi ditetapkan aman dan tersedia untuk seluruh masyarakat secara mudah, juga menurutnya sekolah yang dibuka lagi di masa pandemi bakal membuat KBM tidak akan optimal karena sejumlah kegiatan murid dibatasi. Ini menyebabkan situasi yang tidak jauh berbeda dengan pembelajaran daring. Karena guru juga tidak akan bisa mengawasi aktivitas siswa secara optimal.
Jadi, pentingnya kita semua sadar akan dampak pandemi ini perlu terus dikuatkan. Pemahaman tentang protokol kesehatan harus sudah merata di tengah-tengah masyarakat kita sampai di lingkungan keluarga. Tanpa kesadaran penuh, kepedulian akan kesehatan, keamanan diri dan sekitar, upaya untuk menormalkan kembali kehidupan masyarakat, dalam hal ini aktifitas belajar di sekolah akan sulit diwujudkan secara aman.
Tentunya tidak sedikit kerugian atau penurunan kualitas pendidikan kita selama masa belajar secara daring ini, karean ketidaksiapan semua pihak secara komprehensif. Pun jika kita memulai aktifitas belajar secara tatap muka, namun terkesan memaksakan tanpa persiapan, akan jadi bumerang dan ancaman musibah yang lebih membahayakan dari sebelumnya. Alih-alih kita keluar dari masalah kesulitan belajar secara daring serta berbagai masalah psikologis lainnya. Justru kita memasuki gelombang baru pandemi yang bersumber dari cluster sekolah karena kebijakan memulai aktifitas belajar di sekolah secara tatap muka.
[BungRam 261120]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H