Lihat ke Halaman Asli

Si Bejo

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Si Bejooo"Bejoo..." teriak uwakku dari ruang keluarga. Seorangwanita paruh baya berusia sekitar 50an yang merupakan kakak tertua dariayahku. Dengan tergopoh-gopoh akupun segera menuju sumber suara itutidak boleh telat sedetik pun atau aku harus mendapat omelan yangteruntai panjang tanpa henti bak kereta api barang antar propinsi.Sesampainya di tempat suara tersebut bersumber kudapati uwakku yangtampak marah, "Bejo sini,...lu dah nyapuin ruangan ini belum?" tanyauwakku sambil menunjuk-nunjuk ke arahku dan ke salah satu bagian dariruangan tersebut. "udah wak..?" jawabku singkat. Kemudian ia menjewerkudan menunjuk ke lantai yang berdebu dan bertanya, " lihat, udah bersihbelum?" aku menjawab "iya tadi kelewat.. maaf", dengan nada mengancamia berkata "Bersihin awas lu kalo gak", akupun segera membersihkanruangan tersebut. Ya, itulah tugasku sehari-hari membersihakn sebuahrumah seluas 200meter dengan dua lantai dan 5 kamar, membersihkanhalaman depan, mencuci piring, menguras kamar mandi, dan tugas-tugaslainnya yang harus selesai sebelum pukul 12 siang karena itulah waktuuntukku bersiap-siap pergi ke sekolah.

Aku bersekolah di sebuah SMPIslam di bilangan Cipete Utara dan kegiatan belajar mengajar di sekolah hanya dilakukan di siang hari karena paginya digunakan untuk SD dan TK dari Yayasan yang sama. Di sekolah itulah setiap harinya, kecuali hariMinggu, aku belajar dari jam 1 siang hingga jam 5.30 sore. Meskipunbukan sekolah yang aku harapkan tetapi aku yakin dari sekolah itulahaku bisa menjadi orang besar.Bejo bukanlah namaku sebenarnya,namaku adalah Ahmad Suparman. Entah kapan aku dinobatkan untuk memakainama tersebut tapi yang pasti kedua uwakku beserta kelima anakperempuannya dengan kompak memanggilku "Bejo". Aku berasal dari Bogormeskipun secara de jure aku lahir di Jakarta namun secara de facto akudibesarkan di Kota Hujan tersebut. Aku hijrah ke Jakarta lantaran ibukutidak mampu membiayai sekolahku yang seharusnya lanjut ke tingkat SMP.Beruntung uwakku membawaku kesini ke ibukota ini dan menyekolahkanku diSMP Islam Al-Amjad. Dirumah uwakku akulah satu-satunya anak laki-lakiyang tinggal bersama mereka dan sejauh yang kutahu mereka menginginkananak laki-laki. Meskipun demikian aku tetap saja harus mengerjakanpekerjaan rumah yang cukup banyak.Hari demi hari ku jalani dirumah yang lama-kelamaan terasa seperti neraka itu. Selain bersekolah,mengaji, dan menjalankan tugas uwakku, semisal pergi ke pasar untukmembeli sayur-sayuran serta yang lainnya, maka aku tidak dapat keluarrumah meskipun untuk bermain dengan teman sebayaku. Di sekolah dan dipengajian aku termasuk anak yang diperhitungkan. Aku selalu mandapatkanrangking 1 atau 2 di sekolahku dan dipengajian aku selalu dipercayauntuk menjadi qari bila ada peringatan hari besar islam. Sehingga diSMP dari kelas 1 hingga kelas 3 aku selalu berada di kelas A yaitukelas yang cukup bergengsi di SMP tersebut karena terdiri dari siswadan siswi yang berprestasi. Meskipun pada saat kelas 3 aku sempat masuk black list disebabkan aku ikut serta dalam tawuran kecil-kecilan dengan SMP tetangga dan terlibat dalam aksi kegaduhan pada jam belajarmengajar tapi aku tak pernah kapok.

Mungkin tawuran dan kelakuannakalku adalah pelampiasan kekesalanku terhadap pengekangan yangdilakukan uwakku.Berbeda 180 derajat ketika berada di rumahuwakku, aku adalah anak yang penurut, pendiam, dan rajin sehingga mautidak mau harus belajar. Bagiku saat itu adalah sebuah pengekangannamun terasa sekali efek positifnya di kemudian hari. Kedua uwakkumemang orang yang rajin, telaten, pekerja keras tapi janganlah ditanyabagaimana ekspresinya ketika marah. Pengajian adalah tempat favoritku,disanalah aku mendapatkan petuah-petuah yang langsung berdasarkankejadian nyata dan penjelasanya yang mudah dicerna tidak sama denganpengajian kitab kuning Jurumiah, Sapinah, atau Tijan di pesantrensalafiyah dekat rumahku di Bogor yang bagiku hanya teori-teori yanghampir mirip dengan doktrin hambar tanpa rasa. Taman PengajianAl-Qur'an Al-Amanah, itulah nama pengajian tersebut. Selain belajarTajwid dan Makhraj akupun belajar membaca rawi atau barzanji atauriwayat nabi yang biasanya di baca pada saat perayaan Maluid Nabi danIsra' Mi'raj.Setelah 3 tahun di SMP Islam Al-Amjad akupun lulusdengan nilai yang memuaskan. Aku mendapatkan nilai tertinggi di SMPkudan itu artinya aku bisa melanjutkan ke SMU negeri favoritku. Saat ituaku sudah jatuh hati pada SMU negeri yang terletak tidak jauh darirumah uwakku dan nilaiku mencukupi untuk masuk ke sekolah itu. Namunaku lupa satu hal yaitu pelajar sekolah tersebut hampir sering tawurandi daerah sekitar komplek tempat tinggal uwakku dan tentunya merekatidak setuju bila aku masuk ke sekolah itu....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline