Maka ia pun kembali bersorak
Diatas hati yang terus semakin porak
Ah... sandaran pun terpuruk di tepi dunia kemaruk
Landa jiwa dalam galau tiada wacana
Ombangkan keluh tiada tara dari kedalaman sukma
Prawira yang larasati dirindu tampil di dunia mahsyuk
Belah, hancurkan pundi-pundi merajalela tak berotak
Manakala peluh-keluh merajam nyawa yang berontak
Dan... kendali kukuhkan intonasi untuk tepian dunia garuk
Takut terkutuk redakan percikan darah gerakkan roda
Sebagian nafas menghantam labuhkan sang nahkoda
Kalut... tiadalah guna menuai padi tatkala dunia takluk.
Bekasi, 3 March 2011.
masihdi pekat malam, setelah seharian memeras peluh nian penuh dengan keluh, sang wanita berjalan dengan seragam kerjanya meniti jalan berbeton menuju kontrkan di ujung gang sisi setapak. langkah gontai karna kaki terasa membatu tiada daya untuk menapaki hari-hari yang lama semakin keras menyayat hati terlepas jauh dari bunda. sang wanita terus menatap setiap senti tapak kakinya melangkah, raut wajahnya yang larut dalam gersang dan berdebu kota cikarang nanarkan kisah mengharubiru yang telah berlalu di tanah kelahiran ibu. wajah ayunya tersaput jelaga problema yang dilematis jauh dari logis serta tematis. dalam rennungan malam menuju buaian terlintas senyum kumandangkan harapan, tersinggahkan pelipur lara penyejuk mimpi. ibakan suatu hari duduk bersanding bersamaan bahagia di hidupnya bersama. masih si wanita terasa pilu tinggalkan sang lalu dengan janji tuk merajut hati serta menyatu, entah ia entah berlalu si wanita rasa tiada perlu tahu. masih dengan hatinya yang semakin berlarut dicobanya merebahkan pikiran kala malam semakin larut...
...namun bunda dambakan hamba kembali ke pangkuan kala senja tiba. setelah lama pergi berniaga mengais makna di fana dunia. 'wahai ananda', bunda berkata, 'pulanglah dari ujung samudera karna bunda telah renta harapkan ananda disiisi perbaringan saat raga terpisah nyawa'... sayup terdengar rintihan bunda tapi hamba belum siap melangkah kembali k dermaga. alangkah keras hati hamba tuk terus menyibak rahasia malam di ujung tiada brsisa. duhai bunda jikakah dikau pungkiri tabiat hamba yang rindukan pelukan bunda..? akan tetapi mentari masih berinar esok dan rembulan pun masih terus bergulir berganti cerita. hamba curiga wahai bunda, bilakah esok kudapati kisah yang sama atau jutru berbeda... bunda, kelak hamba kmbali ceriakan senyummu seperti sediakala, saat dikau tersenyum saksikan hamba capai impian tertunda... kelak hamba hamparkan bahagia d hadapan mu..
...selalu saja ayah nistakan cinta dari ibunda... dengan gesa ayah sirnakan harapan sang mentari.. ayah tanpa peduli derapkan langkah tinggalkan rintih rindu sang jabang.. teruskan langkahnya ke materi dunia.. ayah nampak terpesona lantas terkesima lupakan beban yang seharusnya di pikul.. ah memanglah ia tiada senandung arti tanggung jawab pun ia berlalu.. di luasnya dunialah ia merasa tanpa terkekang terlena kemudian terjerat.. beribu kata merdeka tersisa dalam benaknya saja... ia pun tersesat ia pun tersengat ia pun tersengal.. ah sesal kini tiada merubah apa-apa karena sesal merasa bebal.. ayah terngiang meski tak secuilpun terkenang anak2nya.. mereka meradang merintih di tempa beban kian hapuskan masa depan.. ah ia persetankan itu ia lecehkan itu.. ia agungkan dirinya ia benarkan dirinya.. dan waktu kan menjambaknya.. waktu lah membenturkannya.. waktunya membujurkannya.. ia meradang.. ia merintih.. ia dipersetankan.. ia dilecehkan.. malukah ia???
..duh.. lagi-lagi jabang bayi mengeluh, nampak kehausan bak telah menggertak musuh.. ia pun terlihat lusuh dengan bola mata keruh bak bapak-ibunya yang kisruh pikirkan sembako yang kian membunuh.. tidurlah hai setengah badan, meski panas tanpa kipas karna listrik naik tapi tetap byar-pet-pas.. abaikanlah hausmu walau sejenak, susu melambung 'nak bagai awan yang membumbung.. tidurlah kembali biar ibu mendekapmu, dan biarkan bapakmu tersengal-sengal didekap arogan para petinggi.. hadirkanlah ketenangan dalam mimpimu, meski hidup sebagai kaum melarat tiada pernah capai ketenangan.. buailah matamu dengan irama mendayu, biarkanlah si somad, si kirun, dan si nardji terbujur kaku karna memang wakilmu pun tak tahu malu.. usahlah hatimu resah, meski kelak kau pasti resah karna hutang-hutang bukan hadiah.. rengkuhlah cita-citamu 'nak, meski bapak-ibumu sudah tidak mampu lagi memikirkan cita-cita, la wong buat makan saja suda pas.. jadilah orang kau kelak dan pergilah berniaga ke negri nun jauh disana, karna negerimu tak akan pernah peduli karya-karyamu.. harumkanlah bangsamu disana, jika kau ingin namau harum disini.. sudahlah.. tidurlah.. hari kian legit karna malam kian sengit... sing sabar ya 'nak..
Bekasi 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H