OKTOBER agaknya akan selalu dikenang Brendan Rodgers sebagai bulan penuh deg-degan. Mundur tepat ke 7 tahun lalu, manajer berkebangsaan Irlandia Utara tersebut didepak owner Liverpool FC usai ditahan imbang Everton di Derby Merseyside, 4 Oktober 2015.
Waktu itu, sebetulnya Liverpool sudah memimpin 1-0. Namun Everton berhasil menyamakan skor sehingga pertandingan berakhir 1-1. Itu merupakan kali kelima The Reds memimpin satu gol, lalu kebobolan dan akhirnya hanya mendapatkan sebiji poin.
Rekor di awal musim 2015/16 itu jadi lebih buruk karena Rodgers hanya bisa memberikan satu kemenangan dari 9 pertandingan sebelumnya. Bisa dimaklumi jika para petinggi Fenway Sports Group (FSG) merasa itu adalah momen tepat untuk mendepak sang gaffer.
Begitulah yang terjadi kemudian.
Hanya berselang satu jam setelah pertandingan di Goodison Park usai, masuk panggilan telepon lintas benua dari petinggi FSG Mike Gordon. Isi percakapan menyangkut masa depan Rodgers: malam itu juga dia musti mengakhiri pengabdian di Liverpool.
Kita kemudian sama-sama tahu, FSG merekrut Jurgen Klopp setelah memecat Rodgers. Seorang pengganti yang digadang-gadang bakal mempersembahkan trofi bagi The Anfield Gang.
Impian tersebut memang jadi kenyataan. Klopp sukses memberikan trofi bagi Liverpool, termasuk gelar juara Premier League untuk kali pertama. Gelar juara liga domestik yang terakhir kali diraih 30 tahun sebelumnya.
Beban Besar
Andai saja fans Liverpool lebih bersabar terhadap Rodgers, demikian pula FSG dan dukungan dananya, saya yakin ayah Anton Rodgers tersebut juga sebetulnya punya kans untuk melakukan hal sama. Seperti yang nyaris dia lakukan pada musim 2013/14.
Sayang, masa-masa itu FSG tampak lebih sibuk dengan target mereka sendiri: memperbesar kapasitas Stadion Anfield demi memaksimal pendapatan dari tiket pertandingan. Alhasil, anggaran untuk membeli pemain demi memperkuat tim terbilang sangat minim.
Padahal dengan dukungan dana berlimpah pun ada segunung beban yang harus Rodgers pikul di pundaknya. Beban terbesar adalah nama legendaris Liverpool itu sendiri. The best football club in the world, kata Kopites. The pride of England.