MALAM kian dingin saya rasakan. Tapi mobil oranye bak terbuka dengan tulisan BNPB di beberapa bagiannya ini harus dilarikan cepat mengikuti Toyota Avanza di depan. Jalanan Tidore tampak lengang. Tak seorang pun tampak. Saya lirik jam di hape, sudah lewat pukul delapan.
Hari itu Selasa, 11 April 2017, hari di mana untuk pertama kalinya saya bakal menjumpai satu sosok luar biasa dalam sejarah negara dan bangsa ini.
"Kita lihat Paji Nyili Nyili di tempatnya Sangaji. Nanti kita mampir sebentar tempat Nenek Amina Sabtu," ujar Anita Gathmir--saya memanggilnya Ci Ita, pengelola Ngofa Tidore yang membawa kami ke Tidore untuk meliput Hari Jadi Tidore ke-909, sesaat sebelum berangkat tadi.
Rombongan terbagi dalam dua kendaraan. Ci Ita bersama suami dan anaknya, ditambah Dwi Setijo Widodo, Ayu Masita, Annie Nugraha, dan Katerina S., menumpang Avanza. Kami para blogger pemenang lomba blog Tidore untuk Indonesia plus Tati Suherman, menumpang pick up BNPB yang dikemudikan Rifqy Faiza Rahman.
Rasa lelah akibat berjam-jam main air laut di Pulau Failonga siang hari tadi masih saya rasakan. Juga muka yang nyeri terbakar matahari. Tubuh lemas, mata berat. Enaknya tidur saja. Tapi prosesi Paji Nyili Nyili terlalu sayang untuk dilewatkan. Terlebih saya sangat penasaran dengan sosok Amina Sabtu.
"Di Mareku nanti kita melewati monumen pengibaran bendera merah putih pertama kali di Tidore," ujar Ci Anita sewaktu kami hendak snorkeling di Tanjung Konde, dua hari sebelumnya.
Mareku. Daerah mana pula itu? Kata saya dalam hati. Belum ada 2x24 jam di Tidore tapi sudah begitu banyak nama tempat dan nama orang berjejal di kepala. Tapi saya menyimak omongan Ci Ita yang duduk persis di depan saya.
"Yang menjahit bendera itu masih hidup, namanya Amina Sabtu," lanjut Ci Ita, seraya menambahkan bahwa pemuda-pemuda Mareku pengibar bendera tersebut sudah meninggal dunia semua. Salah satunya Abdullah Kadir, sepupu Amina Sabtu yang meminta tolong dibuatkan bendera merah putih.
"Di sana orang-orang Mareku upacara bendera setiap tanggal 18 Agustus, bukan 17 Agustus-nya," kembali Ci Ita menambahkan.
Sampai di situ saya melongo. Wah, kisah luar biasa ini. Mengapa saya tidak mendapat cerita ini dari pelajaran sejarah atau buku dan bacaan sejarah lainnya? Bagaimana mungkin kisah heroik begini hanya dituturkan dari mulut ke mulut, sama sekali tak disinggung dalam sejarah tertulis? Sementara nun jauh di Jawa, tiga penerbang muda yang pesawatnya ditembak jatuh Belanda dan tewas di Ngoto, DI Yogyakarta, nama ketiga-tiganya diabadikan sebagai nama bandara.
Saya tidak bermaksud membanding-bandingkan. Tidak pula menganggap remeh peristiwa jatuhnya pesawat Dakota pembawa bantuan Palang Merah Malaya untuk Indonesia yang diterbangkan trio Agustinus Adisutjipto, Abdulrahman Saleh, dan Adisumarmo Wiyokusumo pada 29 Juli 1947. Saya hanya berpikir, alangkah tidak adilnya negara ini dalam menuliskan sejarah.