Lihat ke Halaman Asli

Darwin Pangaribuan

Semangat Belajar Menulis

Qatar, Sebuah "Quo Vadis"

Diperbarui: 30 Juni 2017   22:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapa mati. Itulah dilema yg dihadapi Qatar sekarang. Pilih kemauan Arab untuk menutup stasiun TV Al - Zajeera yg menjadi corong pemerintah  Qatar untuk mensupport oposisi di Arab Saudi, Mesir, Libya, Uni Emirat Arab, Bahrain ataukah pilih ikut kemauan Iran untuk jangan mau dicampuri negara lain dan tetap menjadi negara berdaulat secara politik. Pilih kemauan Arab untuk menutup pos pos militer diperbatasan Arab Qatar yang diisi  artileri dan infanteri pasukan Turki atau mengikuti kemauan Erdogan untuk mempertahankan pangkalan militernya dekat dekat dgn Arab Saudi supaya posisi Turki tetap strategis di Timteng.  Pilih kemauan Arab, Mesir, UEA dan Bahrain untuk tidak mendukung dana kepada organisasi2 terlarang di Arab, Mesir, UEA atau dengar nasehat Rouheni dari Iran untuk mensuport dana kepada organisasi2 terlarang di  Arab, Mesir, Libya, UEA, Bahrain. Qatar harus memilih salah satu. Repotnya, kedua pilihan adalah dilematis. Kalau Qatar mau lepas dari isolasi darat dan udara oleh Arab, ikuti semua tuntutan Arab; disisi lain kalau Qatar mau tetap dekat secara politik dengan Iran dan didukung militer Turki, Qatar jangan tunduk syarat2 Arab.

Amerika masih menunggu. Pangkalan militernya di Qatar tetap harus dipertahankan dengan semua harga. Lantaran,  pangkalan militer yg sepadan juga dibayar dgn berapapun harganya oleh Rusia di negeri Suriah. Sekalipun Negara Suriah sudah hancur2an, Rusia akan tetap mempertahankan pangkalan militernya di Suriah.  AS dan Rusia berkeras ada pangkalan militer masing2 di Qatar dan Suriah. Itu hanya karena faktor strategis  negeri Israel. Yang satu supaya moncong nuklirnya cepat sampai Tel Aviv, yg satu lagi supaya moncong nuklir lawan bisa cepat ditangkis sebelum masuk Tel Aviv.

Arab dan Mesir jelas tidak mau ada moncong nuklir dekat2 Tel Aviv, itu sebab mereka menjadi karib Israel. Teheran secara geografis jauh dari Tel Aviv, sudah lama ingin cepat menyelesaikan proyek nuklirnya untuk diujicobakan.  Persis seperti  Korea Utara  dengan uji coba rudal balistik Hwasong-12 agar rakyat Kim Jong Un lebih percaya diri dengan memiliki rudal balistik berhulu nuklir. Iran sadar bahwa ekonominya belum tangguh, boikot puluhan tahun oleh AS membuat ekonomi Teheran berjalan lambat. Maka dirangkullah Turki dan Rusia untuk beraliansi dengan Iran.

Qatar harus memilih sebelum batas waktu. Pilihan dilematis. Qatar harus mempertimbangkan pangkalan militer milik AS sebagai buffer negaranya di selat Hormuz. Memutus semua hubungan politis dengan organisasi terlarang versi Arab Mesir Libya UEA Bahrain adalah pilihan realistis. Apakah seorang Sheikh Qatar  mau ikut syarat2  Raja Salman Arab Saudi yg berarti notabene juga syarat2 dari Menteri Pertahanan Arab yaitu putra mahkota Pangeran yg baru berusia 31 tahun, Mohammed bin Salman?

Terlampau dekat dengan Iran tidak terlampau menguntungkan Qatar. Manakala 70% kebutuhan pangan 2.4 juta rakyat Qatar harus disuplai via darat Arab Saudi, lebih baik melupakan tawaran baik Iran dan Turki yg menjamin pasokan pangan dari udara dan laut. Suplai chain yg panjang tidak menguntungkan perekonomian Qatar untuk jangka panjang. Apalagi pertumbuhan ekonomi Qatar 2016 berangka 2.7 % turun dari tingkat ekonomi 2013 sebesar 4.4 %.

Dari semua pertimbangan ekonomi, politik, ideologi pastilah pertimbangan militer adalah faktor determinan. Kapal induk Nimitz yg bolak balik mangkal di Qatar adalah bodyguard yg harus dipelihara supaya ibukota Doha tetap menjadi kota international conference. Masalah yg paling sulit bagi Qatar adalah menurunkan level diplomatik dengan Iran dan memutus semua suport dana dan informasi kepada organisasi terlarang di Arab, Mesir, Libya, UEA, Bahrain. Waktu Qatar, tinggal hitungan jam dari batas waktu Arab. Pengalaman buruk Yaman dibombardir pesawat2 supersonic Arab janganlah sampai direpetisi.

AS tetap punya kartu truf, pertemuan karpet merah Donald Trump dengan Raja Salman, agaknya terkait juga dengan pembelian senjata. Sementara kontrak pembelian senjata Pentagon dan Qatar untuk 3 skuadron pesawat tempur Supersonic F15, adalah langkah bisnis Trump yg berhasil untuk membuka lapangan pekerjaan di AS. Bisa jadi, AS dan Arab akan berdamai kembali dgn Emil Qatar Sheikh Tamin bin Hamid Al-Thani , supaya bisnis pesawat udara militer tetap jalan. Tinimbang kontrak pembelian senjata diblokade oleh AS, Qatar lebih baik mencari diplomatic solution sehingga  pembelian 3 skuadron pesawat tempur F15 teranyar diteruskan sehingga cukup untuk menggentarkan tetangga.

Semoga Timteng umumnya, Qatar khususnya tetap berdamai, setidaknya sampai 2022 tahun ketika Doha Qatar jadi tuan rumah piala dunia sepakbola.

Orat Oret ini sudah saya munculkan di wall pribadi FB, 30 Juni 2017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline