Lihat ke Halaman Asli

Puisi untuk Rakyat

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh drh Chaidir

KHALIFAH Umar bin Khattab memberi nasihat, "Ajarkan sastra pada anak-anakmu, agar anak yang pengecut jadi pemberani." Ungkapan itu sangat menarik, tetapi saya tak menemukan konteks yang pas kecuali bahwa sastra Arab di masa itu sering berhubungan dengan semangat kepahlawanan. Kenapa Umar bin Khattab memberi apresiasi tinggi kepada sastra? Aisyah r.a. bahkan menyebut secara lebih spesifik, "Ajari anak-anak puisi sejak dini." Kenapa mesti puisi, bukan ilmu aljabar? Adakah karena aljabar bukan sastra, sedangkan puisi adalah genre sastra? Dengan demikian menulis puisi berarti menjadikan anak-anak pemberani?

Sastrawan seakan memang dilahirkan memiliki keberanian berlebih dalam penggunaan kata-kata. Mereka tak pernah takut salah dalam meramu kata-kata, dan tak pernah merasa khawatir kendati kata-katanya setajam sembilu dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Penulis puisi sering disebut penguasa kata-kata, dan dalam wilayah singgasana kekuasaannya itu, menurut Sutardji Calzoum Bachri, sastrawan tak bisa diminta pertanggung jawabannya. Barangkali karena kebebasan dan keberanian berekspresi itu, maka sastrawan menjadi seorang pemberani atau dikenal pemberani. Sastrawan tak pernah ada beban dalam memanfaatkan kelebihannya mengungkapkan bahasa-bahasa sastra, mereka seakan tak punya saraf takut sama sekali.

Kalau logikanya demikian, maka Umar bin Khattab dan Aisyah r.a. tak berlebihan dengan tesisnya. Lihatlah beberapa pujangga kita, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Asrul Sani, WS Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Gunawan Mohamad, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, dan lain-lain. Mereka tak pernah gentar melawan kekuasaan dan ketidak adilan. Adakalanya mereka dikucilkan, dipenjara, tapi mereka tak peduli.

Tradisi itulah agaknya yang hendak dipertontonkan nanti malam oleh sejumlah sastrawan Riau dalam bentuk Malam Baca Puisi di Arena Purna MTQ Pekanbaru sebagai bentuk solidaritas atas aksi kekerasan yang dialami oleh Didik, wartawan Riau Pos dalam musibah jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 di Desa Pasir Putih, Kampar, Riau, pada 16 Oktober 2012 lalu. Sastrawan yang ambil bagian antara lain tercatat Rida K Liamsi, Mustamir Thalib, Edi Ahmad RM, Fedli Azis, Kuni Masrohanti, Fakhrunnas MA Jabbar, Hang Kafrawi, Syaukani El Karim, Kazzaini KS, Prof Yusmar Yusuf, dan lain-lain. Semuanya nama-nama terbilang.

Sastrawan Riau, negeri pujangga, menggeliat terbangun dari hibernasi. Kezaliman dan kesewenang-wenangan memang harus dilawan. Hukum harus ditegakkan, pembiaran tak boleh terjadi. Didik tak boleh dikorbankan, juga Letkol Robert Simanjuntak, keduanya tak lebih penting dari rakyat daerah umumnya, yang sering jadi korban salah urus sistemik akibat nafsu angkara murka. Kita lupa sumpah moyang, "raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah." Kita tunggu agenda sastrawan Riau berikutnya, baca puisi untuk rakyat.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline