Lihat ke Halaman Asli

Kesetiaan Buaya Jantan

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh drh Chaidir

BALIHO sebesar apapun tak akan mampu mengubah pencitraan seekor buaya. Kendati dalam baliho tersebut buaya misalnya digambarkan sebagai makhluk yang kerap dizolimi sang kancil, dibodoh-bodohi seekor itik atau dikadalin seekor kambing. Buaya tetap buaya, tak perlu dikasihani. Siapa suruh jadi buaya?

Sebutlah buaya, yang langsung terbayang adalah keserakahan. Demikian serakah dan tamaknya, jangankan daging segar, bangkai pun disikat. Bukankah ada bidal, "mana ada buaya yang menolak bangkai?" Karena keserakahannya, seperti diceritakan dalam dongeng, seekor buaya harus menemui ajalnya di kaki seekor gajah. Dongengnya bermula ketika seekor gajah yang sedang kelaparan menemukan seekor itik. Itik yang tak berdaya sempat memberi saran kepada buaya, "hai buaya, dagingku tak seberapa, tak akan membuatmu kenyang, kalau kau mau daging yang lebih besar dan lezat, ada seekor kambing gemuk di balik bukit itu yang sedang merumput, aku akan antar kau ke sana." Buaya setuju. Itik mengantar buaya ke tempat kambing merumput.

Kambing gemuk itu sungguh menggiurkan. Tanpa basa-basi buaya berteriak. "Hai kambing, aku lapar." Kambing terkejut, dan dengan perasaan tak berdosa, dia mengajak buaya untuk makan bersama. "Ayo kita merumput sama-sama, itu rumput dekat mulutmu segar-segar."
"Bodoh, aku karnivora, bukan herbivora."
"Maksud lo?"
"Dasar kambing, aku ini hewan pemakan daging, bukan pemakan rumput."
"O begitu, coba kamu lihat ke sana, itu ada seekor kerbau besar, pasti sangat lezat dan bisa membuatmu kenyang selama sepekan." Tanpa pikir panjang, buaya yang sudah membayangkan akan mendapatkan daging segar yang lezat, langsung menuju ke tempat buaya.
"Mau apa kamu, buaya?" sapa sang kerbau.
"Aku akan memakan tubuhmu yang tambun itu."
"Kamu mau daging yang lebih besar lagi?" Kerbau memberi opsi.
"Di hutan itu ada beberapa ekor gajah besar yang badannya jauh lebih besar dari badanku, dan kata orang daging gajah itu rasanya nikmat, aku akan antar kau ke sana supaya kau lebih puas."

Singkat cerita buaya yang serakah, menuruti saran sang kerbau. Dan karena perasaan lapar yang memuncak, buaya langsung memilih dan menyerang paha gajah yang paling besar. Tapi apa lacur, gajah bukan tandingan buaya. Sang buaya kita yang lapar berat itu tewas diinjak-injak oleh sang gajah.

Mitos buaya tidak hanya tentang keserakahan. Buaya juga mendapat stigma yang kurang sedap sebagai buaya darat. Perumpamaan buaya darat adalah untuk menggambarkan seseorang yang jahat dan suka main perempuan. Entah darimana perumpamaan itu berasal dan siapa yang menemukannya. Padahal umum diketahui di dunia perhewanan, buaya jantan itu setia sampai mati dengan pasangannya. Buaya lebih sesuai sebagai lambang kesetiaan. Jadi, jangan tiru buaya dari keserakahannya, tirulah dari kesetiaannya. Ayo buktikan, kamu bisa.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline