Lihat ke Halaman Asli

Membenamkan Egoisme

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh drh Chaidir

TOPIK yang selalu menjadi perdebatan di tengah masyarakat kita setiap kali memasuki bulan suci Ramadhan, adalah penetapan awal puasa Ramadhan. Dalam perspektif hubungan manusia secara vertikal dengan Sang Pencipta, barangkali perbedaan hari awal mulai berpuasa antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya tak akan jadi masalah. Alasannya, kedua kelompok masing-masing meyakini, apa yang mereka lakukan adalah benar. Para pemimpin kelompok pastilah ulama dan orang-orang cerdik-pandai. Alasan berikutnya bukankah Allah SWT itu Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Penyayang? Berbuat salah atau khilaf adalah domain manusia.

Dalam perspektif hubungan horizontal, perbedaan awal puasa itu sedikit menimbulkan perasaan kurang nyaman. Hanya sedikit saja. Kalau perbedaan itu dibesar-besarkan juga tidak ada gunanya. Mudaratnya pasti lebih banyak. Buatlah daftar panjang perbedaan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya yang berbeda awal puasa Ramadhannya, kemudian buat pula daftar panjang persamaan. Pastilah daftar persamaannya akan jauh lebih panjang. Maka kesimpulannya, abaikan perbedaan itu. Berlomba-lomba sajalah berbuat kebajikan.

Tetapi untuk sekedar renungan kita, tulisan Muhibussabri Hamid (suaraaceh.com 21/7/2012) menarik untuk dicermati. Muhibussabri menulis tentang kontroversi perbedaan awal puasa Ramadhan dengan sebuah perbandingan yang wajar tidak berlebihan. "Saudi sendiri tidak mengenal perbedaan hari awal Ramadhan. Mereka kompak dan sepakat kapan mulai puasa, tentu saja dengan ketentuan-ketentuan yang diajarkan Rasullullah. Lalu Mesir, disana tak kalah banyaknya kubu-kubu, namun tetap penetapan tanggal puasa mengikuti arahan dan ketetapan lembaga berkaitan. Dalam hal ini Dar al Al-Ifta sebagai lembaga resmi fatwa." Begitu ditulisnya. Di negeri kita, lembaga resmi sudah terbentuk sejak lama, dalam hal ini diwakili Kementerian Agama. Tapi setiap tahun kelihatannya kementerian ini tidak hadir mewakili kepentingan Negara.

Pastilah banyak ulama terbilang di Arab Saudi dan tentulah banyak cerdik cendekia di Mesir. Tapi mengapa perdebatan tidak berpanjang lebar? Mengapa mereka bisa menyamakan persepsi? Barangkali para ulama dan cerdik cendekia kita tahu jawabannya, atau jawabannya juga kontroversi. Namun salah satu dari sekian kemungkinan kata kuncinya adalah masalah egoisme. Egoisme individu, egoisme intelektual, egoisme kelompok, dan egoisme kekuasaan, barangkali inilah yang membuat perbedaan.

Di negeri kita itu menjadi masalah serius dalam beberapa tahun terakhir ini. Sehingga Wakil Presiden Boediono merasa perlu mengungkapkannya dalam menyampaikan pidato pada Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni, tentang Pancasila pada 1 Juni 2012 yang lalu. Wapres Boediono mengatakan eksistensi bangsa Indonesia menghadapi risiko yang paling besar, yaitu tumbuhnya egoisme sempit. "Setiap bentuk egoisme itu akan menyingkirkan orang lain dan merebut hak-hak bersama, serta akan menimbulkan konflik yang mendatangkan korban jiwa dan harta. Egoisme sempit itulah yang harus kita tolak. Kita harus melawan egoisme seperti itu," kata Boediono.

Wapres benar. Oleh karena itulah nilai-nilai toleransi dan persaudaraan yang tumbuh subur dalam semangat puasa Ramadhan perlu kita pelihara dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Semua pihak harus berikhtiar membenamkan sifat egoisme sempit dengan memberikan keteladanan atau kita akan terus membiarkannya membiak di tengah masyarakat.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline