Lihat ke Halaman Asli

Bulan Sejuta Rasa

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh drh Chaidir

BILA dunia belum kiamat, hari Jumat, esok pagi umat Islam seluruh dunia akan bersua kembali bulan suci Ramadhan, satu dari dua belas bulan yang penuh berkah dan selalu dinanti dengan suka cita dan kerinduan. Khusus di Indonesia, bulan Ramadhan selalu dielu-elukan dengan berbagai tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun. Tradisi itu antara lain, doa bersama menyambut Ramadhan, menyantuni anak yatim, ziarah ke makam orang tua atau sanak keluarga, dan di beberapa daerah juga melakukan mandi berlimau.

Semua tradisi tersebut baik-baik saja dan sah-sah saja bila itu dilakukan dengan ikhlas untuk menyucikan diri dan memberikan ketenteraman batin serta suasana nyaman selama menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Bangunan tradisi itu rasanya tak perlu diusik atau diusili. Bahkan kedatangan bulan Ramadhan lazim disambut meriah, asal saja tidak berlebihan. Generasi baru umat Islam tentu ingin mengekspresikan kegembiraannya menyambut Ramadhan sebagai salah satu wujud meningkatnya derajat keimanan umat. Bahkan adakalanya kemeriahan yang bersifat kultural disangkut pautkan pula dengan ritual keagamaan. Namun sesungguhnya, betapa meriah pun kemasan tradisi menyambut Ramadhan, kemeriahan yang bersifat fisik haruslah dikalahkan oleh kemeriahan suasana hati.

Berangkat ke mesjid yang sama seperti pada hari-hari biasa misalnya, di bulan Ramadhan terasa beda. Hati terasa diselimuti selaksa bunga dan terasa lebih selesa. Makan bersama dengan anak-anak dan istri tercinta seperti hari-hari biasa, beda dengan makan sahur dan berbuka bersama keluarga di bulan Ramadhan. Walau kolak pisang dan lauknya tidak istimewa, saat berbuka dan sahur, menu itu menjelma menjadi menu sejuta rasa.

Rindu dengan orang tua dan anak nun jauh di sana, pastilah ada pada hari-hari biasa, tetapi di bulan Ramadhan kerinduan itu terasa mesra. Teringat dengan orang-orang tercinta yang telah tiada pastilah ada, namun di bulan Ramadhan kaca spion untuk mengamati kenangan masa lalu itu terasa labih besar. Sayang pada anak yatim yang biasa-biasa saja pada hari-hari biasa, di bulan Ramadhan terasa lebih ikhlas. Rasa senasib sepenanggungan, semangat persaudaraan, toleransi, sukatannya terasa berlimpah ruah.

Kebajikan tumbuh subur. Keburukan meranggas. Salah satu penyebabnya menurut pengajian para ustadz, karena iblis semuanya dikerangkeng selama Ramadhan. Tetapi yang tetap belum berubah dan muncul setiap kali menjelang Ramadhan dalam derajat yang hampir sama, juga ada, yakni perdebatan tentang boleh atau tidak restoran dibuka selama Ramadhan. Wacana ini kelihatannya menjadi penyakit menahun.

Begitulah Ramadhan, sejuta rasa, semua serba istimewa, semua serba sesuatu banget. Di tengah sukatan toleransi sosial yang tidak penuh seperti sekarang, bulan puasa Ramadhan terasa seperti sitawar sidingin. Ramadhan menjadi solusi bagi menurunnya kualitas nilai-nilai kehidupan berbangsa yang secara umum dapat dirasakan akhir-akhir ini. Keterhormatan timbul tenggelam. Kepatuhan sosial menurun akibat krisis kepercayaan. Aksi kekerasan sering terjadi karena masing-masing memaksakan kehendak. Masing-masing menggunakan cupak yang berbeda, sehingga masalah yang kadang-kadang sederhana menjadi rumit karena masing-masing melihatnya dari sudut pandang kepentingan sempit.

Kita kadang-kadang lupa, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk dan multikultural. Kita kadang-kadang tidak menyadari bahwa menjadi manusia Indonesia berarti menjadi manusia yang sanggup hidup dalam perbedaan dan bersikap toleran, menghormati hak pribadi dan hak sosial pihak lain. Sayangnya yang semakin menjadi-jadi sekarang adalah egoisme sempit. Egoisme individu, kelompok, suku, kedaerahan, partai, egoisme kekuasaan, egoisme harta tumbuh dengan subur. Indikasinya terlihat dari maraknya korupsi dan perburuan kekuasaan dengan menghalalkan segala macam cara. Wapres Boediono mengungkapkan kerisauannya terhadap masalah ini pada Peringatan Pidato Bung Karno tentang Pancasila 1 Juni 2012 lalu. Dalam pidatonya, Wapres menyebut, "Setiap bentuk egoisme itu akan menyingkirkan orang lain dan merebut hak-hak bersama, serta akan menimbulkan konflik yang mendatangkan korban jiwa dan harta. Egoisme sempit itulah yang harus kita tolak. Kita harus melawan egoisme seperti itu," katanya.

Bulan Ramadhan memberi kita peluang untuk melakukan kontemplasi, sejauhmana kita telah sungguh-sungguh memberi keteladanan dalam mengembangkan semangat toleransi dalam masyarakat kita. Toleransi berarti bisa menerima dan menghargai perbedaan dengan lapang dada. Marhaban ya Ramadhan.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline