Oleh drh Chaidir
UNGKAPAN Latin "Mens sana in corpore sano" sesungguhnya adalah sebuah mahakarya sastra dari seorang pujangga Romawi, Decimus Iunius Juvenalis, dalam Satire X, sekitar abad kedua Masehi. Genre sastra Romawi ketika itu umumnya berbentuk satire. Itu jugalah yang ditulis Juvenalis untuk menyindir kekonyolan-kekonyolan masyarakat Romawi, bangsanya sendiri.
Namun seiring perjalanan waktu, berabad-abad kemudian, "Mens sana in corpore sano" dijadikan jargon olahraga dan kesehatan di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Ungkapan Latin itu diterjemahkan dengan sangat molek. "Di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat". Untuk mendapatkan tubuh yang kuat dan sehat kita perlu berolahraga. Bila badan kita kuat dan sehat maka jiwa kita pun sehat. Kalau jiwa sehat, pikiran pun jernih. Tapi kalau jiwa kita sakit, pikiran jernih pun terbang, logika menghilang. Dengan kata lain, fisik dan mental yang kuat, jasmani dan rohani yang sehat, akan menghasilkan individu-individu tangguh, dan muaranya adalah sebuah bangsa yang hebat dan diperhitungkan. Amboi.
Presiden pertama RI, Bung Karno, menerjemahkan jargon itu dalam program "Olahraga untuk Nation and Character Building." Tekadnya tak tanggung-tanggung, "Jadikan Indonesia salah satu dari 10 besar (the big ten) dunia di bidang olahraga melalui pembinaan olahraga di SD/SLTP/SLTA, karena di sini terdapat bibit-bibit olahragawan, calon-calon juara di kemudian hari."
Di era kepemimpinan Presiden Soeharto, bangsa kita memiliki pula jargon "Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat." Senam Kesegaran Jasmani tahun 1988 (SKJ 88), menjadi bagian kampanye pemerintah Orde Baru dalam memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Gerakan ini dimaksudkan untuk mencetak generasi yang sehat dan kuat. Didukung oleh gaya kepemimpinan ketika itu, maka jargon olahraga Orde Baru ini dalam tempo singkat langsung populer dari Sabang sampai Merauke.
Di era Presiden SBY ada Program Indonesia Emas yang bertujuan mempersiapkan atlit handal untuk mengharumkan nama bangsa di pentas dunia. Apapun namanya, baik menurut Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, maupun Presiden SBY, animo masyarakat terhadap olahraga tetap tinggi. Cabang olahraga apapun dengan berbagai macam kompetisinya selalu menyedot perhatian masyarakat. Apalagi sepakbola. Untuk cabang ini, data terbaru menurut www.bolanews.com menunjukkan Indonesia berada pada peringkat ke-3 supporter sepak bola terbanyak di dunia, di bawah Jerman (peringkat 2) dan Brazil (peringkat 1).
Sayangnya akhir-akhir ini semangat mens sana in corpora sano itu tergerus oleh semangat materialistik yang amat berlebihan sehingga aroma tak sedap menyengat hidung muncul dari wisma atlit Sea Games Palembang, Hambalang dan venues PON XVIII Riau. Mungkin jiwa kita sedang kusut masai.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H