Lihat ke Halaman Asli

Pancasila dan Egoisme

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh drh Chaidir

LAMA tak bergema, 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila kembali diperingati. Ada refleksi berupa orasi cemerlang beberapa tokoh terbilang. Tahun lalu, Prof BJ Habibie, Megawati Soekarnoputri dan Presiden SBY tampil memberi orasi. Tahun ini 1 Juni tiga hari lalu, tampil pula Wapres Prof Boediono, dan sejumlah tokoh nasional.

Tahun lalu, dengan orasi yang berapi-api, Prof Habibie medapatkan standing ovation oleh audien. Ketika itu Prof Habibie menyengat bangsa Indonesia dengan sebuah pertanyaan mengapa Pancasila seolah lenyap dari kehidupan kita? Sejak reformasi 1998, menurut Prof Habibie, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam  pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila  seolah  hilang  dari  memori  kolektif  bangsa.  Pancasila  semakin  jarang  diucapkan,  dikutip,  dibahas,  dan  apalagi diterapkan, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi, justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia  yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Tiga hari lalu dalam orasi refleksi hari lahir Pancasila di gedung MPR/DPR, Wapres Prof Boediono mengemukakan pula sebuah kegalauan serius. Menurut Prof Boediono, resiko terbesar terhadap keberlanjutan eksistensi bangsa adalah tumbuhnya egoisme sempit. Setiap bentuk egoisme akan menyingkirkan orang lain dan merebut hak masing-masing. Setiap bentuk egoisme di kehidupan masyarakat akan menimbulkan konflik yang mendatangkan korban harta dan jiwa. Oleh karena itu egoisme itulah yang harus ditolak -- egoisme agama, egoisme bangsa, egoisme etnis, egoisme suku, egoisme kekuasaan, egoisme harta. "Pengalaman sejarah, dan juga kebutuhan kita untuk mengawal perjalanan bangsa ke depan, mengharuskan kita untuk melawan egoisme," kata Wakil Presiden Boediono sebagaimana dikutip berbagai media.

Baik Prof Habibie maupun Prof Boediono, sebagaimana umumnya juga tokoh-tokoh bangsa kita yang masih memiliki kesadaran nasional, menyebut penghayatan dan implementasi nilai-nilai luhur yang tertuang dalam Pancasila dalam kehidupan sehari-hari adalah solusi bagi sebuah masyarakat anomie seperti yang sekarang kita alami. Bangsa ini terlalu besar dan terlalu majemuk untuk dibiarkan liar dengan kebebasan dan kemajemukannya di tengah perubahan yang berlangsung cepat. Kita dihadapkan pada perilaku masyarakat yang demikian mudah terperangkap dalam berbagai konflik horizontal, pertikaian antar kelompok, antar kampung, antar suku, demikian juga antara masyarakat dengan aparat penegak hukum. Masyarakat mudah terpancing isu dan mudah diadu domba dengan fitnah. Masyarakat kita menjadi masyarakat pemberang. Toleransi mengalami penurunan tajam. Kita seperti kehilangan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Sayangnya Dasar Negara, Pancasila, yang sudah disusun demikian hebat itu, kini ibarat induk ayam bertelur emas yang tak pernah dipelihara dengan baik.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline