Oleh drh Chaidir
MAKHLUK apa gerangan Parliamentary Threshold itu sehingga menjadi perbincangan hangat di Senayan? Kosa kata Inggris ini umum diterjemahkan sebagai ambang pintu parlemen. Maksudnya, partai-partai peserta pemilu yang memperoleh suara melampaui ambang pintu parlemen berhak memperoleh kursi dan duduk di parlemen (DPR) Senayan, yang tidak, berarti "terduduk." Terduduk artinya KO dan tak mampu berdiri sampai hitungan kesepuluh. Jelasnya, partai yang "terduduk" ini tidak berhak atas kursi di DPR.
UU Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD yang baru disetujui DPR beberapa hari lalu, antara lain mengatur tentang Parliament Threshold (PT) sebesar 3,5 persen (pasal 208). Dan PT ini berlaku dalam penetapan kursi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota hasil pemilu 2014 kelak. Hanya partai-partai yang memenuhi PT yang akan diperhitungkan suaranya dalam penentuan perolehan kursi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Klausul tersebut berbeda dengan pasal 202 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, yang menyebut: Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Implikasi dari UU Nomor 10 Tahun 2008 ini terlihat dalam komposisi perolehan kursi di DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Untuk DPR, hanya sembilan partai dari 34 partai politik peserta pemilu 2009 yang memperoleh kursi, yakni Partai Demokrat 148 kursi , Partai Golkar 108, PDIP 93, PKS 59, PAN 42, PPP 39, PKB 26, Gerindra 30, dan Hanura 15 kursi.
Gambaran pelangi terlihat di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Banyak partai politik yang tidak lolos PT di DPR, mendapatkan kursi di lembaga legislatif daerah, sebut saja misalnya PBB, PBR, PDK, Partai Buruh, PPRN, PDS, PKNU, Partai Pelopor, dan sebagainya. Partai Damai Sejahtera (PDS) bahkan menjadi mayoritas di Papua. Gambaran ini memberi dinamika tersendiri dalam sistem kepartaian dan sistem pemilu yang berlaku secara nasional. Benang-benang kusut itu terlihat pula dalam dinamika pemilukada, dengan bervariasinya koalisi partai di daerah dalam mendukung seseorang calon kepala daerah. Demikian pula tarik menarik kepentingan di DPRD setempat. Koalisi nasional yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan Koalisi, tidak berlaku di daerah. Banyaknya varian koalisi ini menimbulkan tingkat kesulitan cukup tinggi dalam pengelolaan pemerintahan.
PT 3,5 persen dan berlaku juga di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2012, memberi gambaran peta politik di daerah akan lebih sederhana. Namun perangkap lain menganga. Besar kemungkinan ada partai yang tidak lolos PT, tetapi perolehan suaranya di daerah cukup signifikan. Artinya, akan ada partai yang mendapat dukungan besar di suatu daerah tidak berhak mendapatkan kursi di DPRD, sementara partai yang pendukungnya kecil justru mendapatkan kursi di DPRD.
Sesungguhnya logika UU Nomor 15 Tahun 2012 yang antara lain mengatur tentang PT sebesar 3,5 persen dan berlaku juga dalam penetapan kursi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota itu adalah untuk menyederhanakan jumlah parpol secara alamiah dalam rangka menciptakan pemerintahan yang lebih stabil. Rakyat diharapkan lebih rasional dalam menentukan pilihannya. Sayang sekali sosialisasi tentang makna PT 3,5 persen ini tidak tersosialisasi dengan baik, sehingga menimbulkan asimetri informasi.
Maka, uji materil yang diajukan oleh 22 partai non parlemen ke MK, akan mendorong MK memilih opsi: kembali ke UU Nomor 10 Tahun 2008 atau tetap menggunakan angka PT 3,5 persen tetapi hanya berlaku untuk DPR, tidak berlaku untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kusut masai.
Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H