Lihat ke Halaman Asli

Demokrasi Itu Lebai

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh drh Chaidir

UNGKAPAN Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris yang paling disegani sepanjang sejarah, agaknya menarik untuk menggambarkan betapa lebainya demokrasi. "Demokrasi bukan sistem pemerintahan terbaik, tetapi belum ada sistem lain yang lebih teruji," ujarnya. Demokrasi memang unik, dipuji sekaligus dibenci. Dekat tapi jauh, jauh tapi dekat.

Dikatakan demokrasi itu jauh nun di negeri Paman Sam, tidak juga. Kenyataannya kita sudah melaksanakan demokrasi itu di sini. Bukankah hampir tiada hari tanpa wacana pemilihan umum? Kalau bukan wacana pemilu legislatif, wacana pemilu pilpres. Kalau bukan itu, wacana pemilukada. Tiada juga hari tanpa wacana partai politik, atau sekurang-kurangnya gosip orang-orang partai. Pemilu dan partai politik adalah dua "makhluk" yang tak bisa dipisahkan dari demokrasi. Tak ada demokrasi tanpa pemilu, dan tak ada pemilu tanpa kehadiran partai politik. Postulatnya memang demikian.

Maka tak bisa dibantah, demokrasi itu berada sangat dekat dalam kehidupan kita, bahkan tidak jarang berada dalam bilik rumah kita. Zaman sekarang bukan sesuatu yang luar biasa, antara mertua, bapak, ibu dan anak berbeda warna partainya. Dan ini sebuah tanda dari sekian tanda demokrasi, ada kebebasan dalam berserikat. Tetapi dalam realitanya, hasil akhir demokrasi berupa peningkatan kesejahteraan yang bermartabat dan berkeadilan, masih jauh panggang dari api. Artinya, demokrasi sebagai instrumen kesejahteraan masih jauh dari harapan, walaupun setiap hari kerongkongan kita sampai kering berteriak mengatakan bahwa kita sudah melaksanakan demokrasi.

Tidak sedikit contoh kasus betapa demokrasi dipuja-puji dalam proses lahirnya seorang pemimpin atau terbentuknya suatu pemerintahan. Sehingga sang pemimpin dan pemerintahan terebut mendapat predikat terpilih secara demokratis dalam suatu masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi. Tetapi tanpa perlu menunggu waktu lama, sang penguasa menampakkan belangnya, laras senjata demokrasi itu diarahkan kepada rakyat yang telah memberikan suaranya. Rakyat ditakut-takuti untuk tunduk. Saingan dan kelompok yang beroposisi dihabisi agar takluk setakluk-takluknya, kawan dikebiri agar menjadi pembisik-pembisik yesmen. Sang penguasa leluasa berlindung di balik demokrasi, bukankah sang penguasa telah memperoleh mandat dari rakyat untuk menggunakan kekuasaannya secara sah? Bahwa kekuasaan itu kemudian cenderung digunakan berlebihan atau bahkan disalahgunakan, dan bertentangan dengan semangat demokrasi, itu masalah lain.

Terlebih terkurangnya, itulah yang terjadi dalam banyak kasus pemilukada kita. Kenduri demokrasi berlangsung dalam gegap gempita, tetapi kemudian setelah kenduri usai, para pemimpin yang terpilih itu, yang umumnya dari kaum muda, mengalami metamorfosa sehingga mengidap penyakit akut otokratis, oligarkis dan parokhialistis. Kepemimpinan menjadi tidak efektif, dan agenda-agenda pembaharuan yang diharapkan muncul, dikesampingkan demi kepentingan-kepentingan sempit. Demokrasi yang disfungsional dan lebai seperti ini akan menghilangkan kepercayaan rakyat baik terhadap pemimpinnya maupun terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Tinggal menghitung hari.

Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline